Sembilan Elemen Jurnalisme

Sebuah buku yang sebaiknya dibaca orang yang tertarik pada jurnalisme.

Oleh ANDREAS HARSONO

Detail Buku:
The Elements of Journalism: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect
Oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (April 2001) 205 halaman
Crown $20.00 (Hardcover)

HATI nurani jurnalisme Amerika ada pada Bill Kovach. Ini ungkapan yang sering dipakai orang bila bicara soal Kovach. Thomas E. Patterson dari Universitas Harvard mengatakan, Kovach punya "karir panjang dan terhormat" sebagai wartawan. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah Tempo, merasa sulit “mencari kesalahan” Kovach.

Wartawan yang nyaris tanpa cacat itulah yang menulis buku The Elements of Journalism bersama rekannya Tom Rosenstiel. Kovach memulai karirnya sebagai wartawan pada 1959 di sebuah suratkabar kecil sebelum bergabung dengan The New York Times, salah satu suratkabar terbaik di Amerika Serikat, dan membangun karirnya selama 18 tahun di sana.

Kovach mundur ketika ditawari jadi pemimpin redaksi harian Atlanta Journal-Constitution. Di bawah kepemimpinannya, harian ini berubah jadi suratkabar yang bermutu. Hanya dalam dua tahun, Kovach membuat harian ini mendapatkan dua Pulitzer Prize, penghargaan bergengsi dalam jurnalisme Amerika. Total dalam karirnya, Kovach menugaskan dan menyunting lima laporan yang mendapatkan Pulitzer Prize. Pada 1989-2000 Kovach jadi kurator Nieman Foundation for Journalism di Universitas Harvard yang tujuannya meningkatkan mutu jurnalisme.

Sedangkan Tom Rosentiel adalah mantan wartawan harian The Los Angeles Times spesialis media dan jurnalisme. Kini sehari-harinya Rosenstiel menjalankan Committee of Concerned Journalists –sebuah organisasi di Washington D.C. yang kerjanya melakukan riset dan diskusi tentang media.

Dalam buku ini BILL Kovach dan Tom Rosenstiel merumuskan sembilan elemen jurnalisme. Kesimpulan ini didapat setelah Committee of Concerned Journalists mengadakan banyak diskusi dan wawancara yang melibatkan 1.200 wartawan dalam periode tiga tahun.

Sembilan elemen ini sama kedudukannya. Tapi Kovach dan Rosenstiel menempatkan elemen jurnalisme yang pertama adalah kebenaran, yang ironisnya, paling membingungkan.

Kebenaran yang mana? Bukankan kebenaran bisa dipandang dari kacamata yang berbeda-beda? Tiap-tiap agama, ideologi atau filsafat punya dasar pemikiran tentang kebenaran yang belum tentu persis sama satu dengan yang lain. Sejarah pun sering direvisi. Kebenaran menurut siapa?

Bagaimana dengan bias seorang wartawan? Tidakkah bias pandangan seorang wartawan, karena latar belakang sosial, pendidikan, kewarganegaraan, kelompok etnik, atau agamanya, bisa membuat si wartawan menghasilkan penafsiran akan kebenaran yang berbeda-beda?

Kovach dan Rosenstiel menerangkan bahwa masyarakat butuh prosedur dan proses guna mendapatkan apa yang disebut kebenaran fungsional. Polisi melacak dan menangkap tersangka berdasarkan kebenaran fungsional. Hakim menjalankan peradilan juga berdasarkan kebenaran fungsional. Pabrik-pabrik diatur, pajak dikumpulkan, dan hukum dibuat. Guru-guru mengajarkan sejarah, fisika, atau biologi, pada anak-anak sekolah. Semua ini adalah kebenaran fungsional.

Namun apa yang dianggap kebenaran ini senantiasa bisa direvisi. Seorang terdakwa bisa dibebaskan karena tak terbukti salah. Hakim bisa keliru. Pelajaran sejarah, fisika, biologi, bisa salah. Bahkan hukum-hukum ilmu alam pun bisa direvisi.

Hal ini pula yang dilakukan jurnalisme. Bukan kebenaran dalam tataran filosofis. Tapi kebenaran dalam tataran fungsional. Orang butuh informasi lalu lintas agar bisa mengambil rute yang lancar. Orang butuh informasi harga, kurs mata uang, ramalan cuaca, hasil pertandingan bola dan sebagainya.

Selain itu kebenaran yang diberitakan media dibentuk lapisan demi lapisan. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh tabrakan lalu lintas. Hari pertama seorang wartawan memberitakan kecelakaan itu. Di mana, jam berapa, jenis kendaraannya apa, nomor polisi berapa, korbannya bagaimana. Hari kedua berita itu mungkin ditanggapi oleh pihak lain. Mungkin polisi, mungkin keluarga korban. Mungkin ada koreksi. Maka pada hari ketiga, koreksi itulah yang diberitakan. Ini juga bertambah ketika ada pembaca mengirim surat pembaca, atau ada tanggapan lewat kolom opini. Demikian seterusnya.

Jadi kebenaran dibentuk hari demi hari, lapisan demi lapisan. Ibaratnya stalagmit, tetes demi tetes kebenaran itu membentuk stalagmit yang besar. Makan waktu, prosesnya lama. Tapi dari kebenaran sehari-hari ini pula terbentuk bangunan kebenaran yang lebih lengkap.

Saya pribadi beruntung mengenal Kovach ketika saya mendapat kesempatan ikut program Nieman Fellowship pada 1999-2000 di mana Kovach jadi kuratornya. Di sana Kovach melatih wartawan-wartawan dari berbagai belahan dunia untuk lebih memahami pilihan-pilihan mereka dalam jurnalisme. Tekanannya jelas: memilih kebenaran!

Tapi mengetahui mana yang benar dan mana yang salah saja tak cukup. Kovach dan Rosenstiel menerangkan elemen kedua dengan bertanya, “Kepada siapa wartawan harus menempatkan loyalitasnya? Pada perusahaannya? Pada pembacanya? Atau pada masyarakat?”

Pertanyaan itu penting karena sejak 1980-an banyak wartawan Amerika yang berubah jadi orang bisnis. Sebuah survei menemukan separuh wartawan Amerika menghabiskan setidaknya sepertiga waktu mereka buat urusan manajemen ketimbang jurnalisme.

Ini memprihatinkan karena wartawan punya tanggungjawab sosial yang tak jarang bisa melangkahi kepentingan perusahaan di mana mereka bekerja. Walau pun demikian, dan di sini uniknya, tanggungjawab itu sekaligus adalah sumber dari keberhasilan perusahaan mereka. Perusahaan media yang mendahulukan kepentingan masyarakat justru lebih menguntungkan ketimbang yang hanya mementingkan bisnisnya sendiri.

Mari melihat dua contoh. Pada 1893 seorang pengusaha membeli harian The New York Times. Adolph Ochs percaya bahwa penduduk New York capek dan tak puas dengan suratkabar-suratkabar kuning yang kebanyakan isinya sensasional. Ochs hendak menyajikan suratkabar yang serius, mengutamakan kepentingan publik dan menulis, “… to give the news impartiality, without fear or favor, regardless of party, sect or interests involved.”

Pada 1933 Eugene Meyer membeli harian The Washington Post dan menyatakan di halaman suratkabar itu, “Dalam rangka menyajikan kebenaran, suratkabar ini kalau perlu akan mengorbankan keuntungan materialnya, jika tindakan itu diperlukan demi kepentingan masyarakat.”

Prinsip Ochs dan Meyer terbukti benar. Dua harian itu menjadi institusi publik yang prestisius sekaligus bisnis yang menguntungkan.

Kovach dan Rosenstiel khawatir banyaknya wartawan yang mengurusi bisnis bisa mengaburkan misi media dalam melayani kepentingan masyarakat. Bisnis media beda dengan bisnis kebanyakan. Dalam bisnis media ada sebuah segitiga. Sisi pertama adalah pembaca, pemirsa, atau pendengar. Sisi kedua adalah pemasang iklan. Sisi ketiga adalah masyarakat (citizens).

Berbeda dengan kebanyakan bisnis, dalam bisnis media, pemirsa, pendengar, atau pembaca bukanlah pelanggan (customer). Kebanyakan media, termasuk televisi, radio, maupun dotcom, memberikan berita secara gratis. Orang tak membayar untuk menonton televisi, membaca internet, atau mendengarkan radio. Bahkan dalam bisnis suratkabar pun, kebanyakan pembaca hanya membayar sebagian kecil dari ongkos produksi. Ada subsidi buat pembaca.

Adanya kepercayaan publik inilah yang kemudian “dipinjamkan” perusahaan media kepada para pemasang iklan. Dalam hal ini pemasang iklan memang pelanggan. Tapi hubungan ini seyogyanya tak merusak hubungan yang unik antara media dengan pembaca, pemirsa, dan pendengarnya.

Kovach dan Rosenstiel prihatin karena banyak media Amerika mengkaitkan besarnya bonus atau pendapatan redaktur mereka dengan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan bersangkutan. Sebuah survei menemukan, 71 persen redaktur Amerika menerapkan sebuah gaya manajemen yang biasa disebut management by objections.

Model ini ditemukan oleh guru manajemen Peter F. Drucker. Idenya sederhana sebenarnya. Para manajer diminta menentukan target sekaligus imbalan bila mereka berhasil mencapainya.

Manajemen model ini, menurut Kovach dan Rosenstiel, bisa mengaburkan tanggungjawab sosial para redaktur. Mengkaitkan pendapatan seorang redaktur dengan penjualan iklan atau keuntungan perusahaan sangat mungkin untuk mengingkari prinsip loyalitas si redaktur terhadap masyarakat. Loyalitas mereka bisa bergeser pada peningkatan keuntungan perusahaan karena dari sana pula mereka mendapatkan bonus.



BANYAK wartawan mengatakan The Elements of Journalism perlu untuk dipelajari orang media. Suthichai Yoon, redaktur pendiri harian The Nation di Bangkok, menulis bahwa renungan dua wartawan “yang sudah mengalami pencerahan” ini perlu dibaca wartawan Thai.

I Made Suarjana dari tim pendidikan majalah Gatra mengatakan pada saya bahwa Gatra sedang menterjemahkan buku ini buat keperluan internal mereka, “Buku ini kita pandang mengembalikan pada basic jurnalisme,” kata Suarjana.

Salah satu bagian penting buku ini adalah penjelasan Bill Kovach dan Tom Rosenstiel tentang elemen ketiga. Mereka mengatakan esensi dari jurnalisme adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Disiplin mampu membuat wartawan menyaring desas-desus, gosip, ingatan yang keliru, manipulasi, guna mendapatkan informasi yang akurat. Disiplin verifikasi inilah yang membedakan jurnalisme dengan hiburan, propaganda, fiksi atau seni.

Mereka berpendapat, “saudara sepupu” hiburan yang disebut infotainment (dari kata information dan entertainment) harus dimengerti wartawan agar tahu mana batas-batasnya. Infotainment hanya terfokus pada apa-apa yang menarik perhatian pemirsa dan pendengar. Jurnalisme meliput kepentingan masyarakat yang bisa menghibur tapi juga bisa tidak.

Batas antara fiksi dan jurnalisme memang harus jelas. Jurnalisme tak bisa dicampuri dengan fiksi setitik pun. Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh pengalaman Mike Wallace dari CBS yang difilmkan dalam The Insider. Film ini bercerita tentang keengganan jaringan televisi CBS menayangkan sebuah laporan tentang bagaimana industri rokok Amerika memakai zat kimia tertentu buat meningkatkan kecanduan perokok.

Kejadian itu sebuah fakta. Namun Wallace keberatan karena ada kata-kata yang diciptakan dan seolah-olah diucapkan Wallace. Sutradara Michael Mann mengatakan film itu “pada dasarnya akurat” karena Wallace memang takluk pada tekanan pabrik rokok. Jika kata-kata diciptakan atau motivasi Wallace berbeda antara keadaan nyata dan dalam film, Mann berpendapat itu bisa diterima.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan dalam kasus itu keterpaduan (utility) jadi nilai tertinggi ketimbang kebenaran harafiah. Fakta disubordinasikan kepada kepentingan fiksi. Mann membuat film itu dengan tambahan drama agar menarik perhatian penonton.

Lantas bagaimana dengan beragamnya standar jurnalisme? Tidakkah disiplin tiap wartawan dalam melakukan verifikasi bersifat personal? Kovach dan Ronsenstiel menerangkan memang tak setiap wartawan punya pemahaman yang sama. Tidak setiap wartawan tahu standar minimal verifikasi. Susahnya, karena tak dikomunikasikan dengan baik, hal ini sering menimbulkan ketidaktahuan pada banyak orang karena disiplin dalam jurnalisme ini sering terkait dengan apa yang biasa disebut sebagai objektifitas.

Orang sering bertanya apa objektifitas dalam jurnalisme itu? Apakah wartawan bisa objektif? Bagaimana dengan wartawan yang punya latar belakang pendidikan, sosial, ekonomi, kewarganegaraan, etnik, agama dan pengalaman pribadi yang nilai-nilainya berbeda dengan nilai dari peristiwa yang diliputnya?

Kovach dan Rosenstiel menjelaskan, pada abad XIX tak mengenal konsep objektifitas itu. Wartawan zaman itu lebih sering memakai apa yang disebut sebagai realisme. Mereka percaya bila seorang reporter menggali fakta-fakta dan menyajikannya begitu saja maka kebenaran bakal muncul dengan sendirinya.

Ide tentang realisme ini muncul bersamaan dengan terciptanya struktur karangan yang disebut sebagai piramida terbalik di mana fakta yang paling penting diletakkan pada awal laporan, demikian seterusnya, hingga yang paling kurang penting. Mereka berpendapat struktur itu membuat pembaca memahami berita secara alamiah.

Namun pada awal abad XX beberapa wartawan khawatir dengan naifnya realisme ini. Pada 1919 Walter Lippmann dan Charles Merz, dua wartawan terkemuka New York, menulis sebuah analisis tentang bagaimana latar belakang kultural The New York Times menimbulkan distorsi pada liputannya tentang revolusi Rusia. The New York Times lebih melaporkan tentang apa yang diharapkan pembaca ketimbang melaporkan apa yang terjadi.

Lippmann menekankan, jurnalisme tak cukup hanya dilaporkan oleh “saksi mata yang tak terlatih.” Niat baik atau usaha yang jujur juga tak cukup. Lippmann mengatakan inovasi baru pada zaman itu, misalnya bylines atau kolumnis, juga tidak cukup.

Bylines diciptakan agar nama setiap reporter diketahui publik yang bakal mendorong si reporter bekerja lebih baik karena namanya terpampang jelas. Kolumnis adalah wartawan atau penulis senior yang tugasnya menerangkan suatu peristiwa dengan konteks yang lebih luas yang mungkin tak bisa dilaporkan reporter yang sibuk bekerja di lapangan.

Solusinya, menurut Lippmann, wartawan harus menguasai semangat ilmu pengetahuan, “There is but one kind of unity possible in a world as diverse as ours. It is unity of method, rather than aim; the unity of disciplined experiement (Ada satu hal yang bisa disatukan dalam kehidupan yang berbeda-beda ini. Hal itu adalah keseragaman dalam mengembangkan metode, ketimbang sebagai tujuan; seragamnya metode yang ditarik dari pengalaman di lapangan).”

Baginya, metode jurnalisme bisa objektif. Tapi objektifitas ini bukanlah tujuan. Objektifitas adalah disiplin dalam melakukan verifikasi.

Sayang, dengan berjalannya waktu, pemahaman orisinal terhadap objektifitas ini diartikan keliru. Banyak penulis seperti Leo Rosten, yang mengarang sebuah buku sosiologi tentang wartawan, memakai istilah objektifitas buat merujuk pada pemahaman bahwa wartawan itu seyogyanya objektif.

Saya kira di Indonesia juga banyak dosen-dosen komunikasi yang berpikir ala Rosten. Ini membingungkan. Para wartawan pun, pada gilirannya, ikut meragukan pengertian objektif dan menganggapnya sebagai ilusi.

Bagaimana metode yang objektif itu bisa dilakukan? Kovach dan Rosenstiel menerangkan betapa kebanyakan wartawan hanya mendefinisikan hanya sebagai dengan liputan yang berimbang (balance), fairness serta akurat.

Tapi berimbang maupun fairness adalah metode. Bukan tujuan. Keseimbangan bisa menimbulkan distorsi bila dianggap sebagai tujuan. Kebenaran bisa kabur di tengah liputan yang berimbang. Fairness juga bisa disalahmengerti bila ia dianggap sebagai tujuan. Fair terhadap sumber atau fair terhadap pembaca?

Kovach dan Rosenstiel menawarkan lima konsep dalam verifikasi:

* Jangan menambah atau mengarang apa pun;
* Jangan menipu atau menyesatkan pembaca, pemirsa, maupun pendengar;
* Bersikaplah setransparan dan sejujur mungkin tentang metode dan motivasi Anda dalam melakukan reportase;
* Bersandarlah terutama pada reportase Anda sendiri;
* Bersikaplah rendah hati.

Kovach dan Rosenstiel tak berhenti hanya pada tataran konsep. Mereka juga menawarkan metode yang kongkrit dalam melakukan verifikasi itu. Pertama, penyuntingan secara skeptis. Penyuntingan harus dilakukan baris demi baris, kalimat demi kalimat, dengan sikap skeptis. Banyak pertanyaan, banyak gugatan.

Kedua, memeriksa akurasi. David Yarnold dari San Jose Mercury News mengembangkan satu daftar pertanyaan yang disebutnya “accuracy checklist.”

* Apakah lead berita sudah didukung dengan data-data penunjang yang cukup?
* Apakah sudah ada orang lain yang diminta mengecek ulang, menghubungi atau menelepon semua nomor telepon, semua alamat, atau situs web yang ada dalam laporan tersebut? Bagaimana dengan penulisan nama dan jabatan?
* Apakah materi background guna memahami laporan ini sudah lengkap?
* Apakah semua pihak yang ada dalam laporan sudah diungkapkan dan apakah semua pihak sudah diberi hak untuk bicara?
* Apakah laporan itu berpihak atau membuat penghakiman yang mungkin halus terhadap salah satu pihak? Siapa orang yang kira-kira tak suka dengan laporan ini lebih dari batas yang wajar?
* Apa ada yang kurang?
* Apakah semua kutipan akurat dan diberi keterangan dari sumber yang memang mengatakannya? Apakah kutipan-kutipan itu mencerminkan pendapat dari yang bersangkutan?

Ketiga, jangan berasumsi. Jangan percaya pada sumber-sumber resmi begitu saja. Wartawan harus mendekat pada sumber-sumber primer sedekat mungkin. David Protess dari Northwestern University memiliki satu metode. Dia memakai tiga lingkaran yang konsentris. Lingkaran paling luar berisi data-data sekunder terutama kliping media lain. Lingkaran yang lebih kecil adalah dokumen-dokumen misalnya laporan pengadilan, laporan polisi, laporan keuangan dan sebagainya. Lingkaran terdalam adalah saksi mata.

Metode keempat, pengecekan fakta ala Tom French yang disebut Tom French’s Colored Pencil. Metode ini sederhana. French, seorang spesialis narasi panjang nonfiksi dari suratkabar St. Petersburg Times, Florida, memakai pensil berwarna untuk mengecek fakta-fakta dalam karangannya, baris per baris, kalimat per kalimat.



MUSIM dingin tahun lalu ketika salju membasahi Cambridge, saya sempat berbincang-bincang dengan Bill Kovach tentang hubungan wartawan dan sumbernya. Saya katakan, pernah ketika mengerjakan suatu liputan, secara tak sengaja, keluarga saya berhubungan cukup dekat dengan keluarga orang yang diwawancarai.

Kami diskusikan masalah itu. Singkat kata Kovach mengatakan, bahwa seorang wartawan “tidak mencari teman, tidak mencari musuh.” Terkadang memang sulit menerima tawaran jasa baik, misalnya diantar pulang ketika kesulitan cari taksi, tapi juga tak perlu datang ke acara-acara sosial di mana independensi wartawan bisa salah dimengerti orang karena ada saja pertemanan yang terbentuk lewat acara-acara itu.

“Seorang wartawan adalah mahluk asosial. Don’t get me wrong,” kata Kovach. Asosial bukan antisosial.

Ini sedikit menjelaskan elemen keempat: independensi. Kovach dan Rosenstiel berpendapat, wartawan boleh mengemukakan pendapatnya dalam kolom opini (tidak dalam berita). Mereka tetap dibilang wartawan walau menunjukkan sikapnya dengan jelas.

Kalau begitu wartawan boleh tak netral?

Menjadi netral bukanlah prinsip dasar jurnalisme. Impartialitas juga bukan yang dimaksud dengan objektifitas. Prinsipnya, wartawan harus bersikap independen terhadap orang-orang yang mereka liput.

Jadi, semangat dan pikiran untuk bersikap independen ini lebih penting ketimbang netralitas. Namun wartawan yang beropini juga tetap harus menjaga akurasi dari data-datanya. Mereka harus tetap melakukan verifikasi, mengabdi pada kepentingan masyarakat, dan memenuhi berbagai ketentuan lain yang harus ditaati seorang wartawan.

“Wartawan yang menulis kolom memang punya sudut pandangnya sendiri …. Tapi mereka tetap harus menghargai fakta di atas segalanya,” kata Anthony Lewis, kolumnis The New York Times.

Menulis kolom ibaratnya, menurut Maggie Galagher dari Universal Press Syndicate, “bicara dengan seseorang yang tak setuju dengan saya.”

Tapi wartawan yang menulis opini tetap tak diharapkan menulis tentang sesuatu dan ikut jadi pemain. Ini membuat si wartawan lebih sulit untuk melihat dengan perspektif yang berbeda. Lebih sulit untuk mendapatkan kepercayaan dari pihak lain. Lebih sulit lagi menyakinkan masyarakat bahwa si wartawan meletakkan kepentingan mereka lebih dulu ketimbang kepentingan kelompok di mana si wartawan ikut bermain.

Kesetiaan pada kebenaran inilah yang membedakan wartawan dengan juru penerangan atau propaganda. Kebebasan berpendapat ada pada setiap orang. Tiap orang boleh bicara apa saja walau isinya propaganda atau menyebarkan kebencian. Tapi jurnalisme dan komunikasi bukan hal yang sama.

Independensi ini juga yang harus dijunjung tinggi di atas identitas lain seorang wartawan. Ada wartawan yang beragama Kristen, Islam, Hindu, Buddha, berkulit putih, keturunan Asia, keturunan Afrika, Hispanik, cacat, laki-laki, perempuan, dan sebagainya. Mereka, bukan pertama-tama, orang Kristen dan kedua baru wartawan.

Latar belakang etnik, agama, ideologi, atau kelas, ini seyogyanya dijadikan bahan informasi buat liputan mereka. Tapi bukan dijadikan alasan untuk mendikte si wartawan. Kovach dan Rosenstiel juga percaya, ruang redaksi yang multikultural bakal menciptakan lingkungan yang lebih bermutu secara intelektual ketimbang yang seragam.

Bersama-sama wartawan dari berbagai latar ini menciptakan liputan yang lebih kaya. Tapi sebaliknya, keberagaman ini tak bisa diperlakukan sebagai tujuan. Dia adalah metode buat menghasilkan liputan yang baik.



ELEMEN jurnalisme yang kelima adalah memantau kekuasaan dan menyambung lidah mereka yang tertindas. Memantau kekuasaan bukan berarti melukai mereka yang hidupnya nyaman. Mungkin kalau dipakai istilah Indonesianya, “jangan cari gara-gara juga.” Memantau kekuasaan dilakukan dalam kerangka ikut menegakkan demokrasi.

Salah satu cara pemantauan ini adalah melakukan investigative reporting --sebuah jenis reportase di mana si wartawan berhasil menunjukkan siapa yang salah, siapa yang melakukan pelanggaran hukum, yang seharusnya jadi terdakwa, dalam suatu kejahatan publik yang sebelumnya dirahasiakan.

Sayangnya di Amerika Serikat, saya kira juga di Indonesia, label investigasi sering dijadikan barang dagangan. Kovach dan Rosenstiel menceritakan bagaimana radio-radio di sana menyiarkan rumor dan dengan seenaknya mengatakan mereka melakukan investigasi. Susahnya, para pendengar, pemirsa, dan pembaca juga tak tahu apa investigasi itu.

Salah satu konsekuensi dari investigasi adalah kecenderungan media bersangkutan mengambil sikap terhadap isu di mana mereka melakukan investigasi. Ada yang memakai istilah advocacy reporting buat mengganti istilah investigative reporting karena adanya kecenderungan ini. Padahal hasil investigasi bisa salah. Dan dampak yang timbul besar sekali. Bukan saja orang-orang yang didakwa dibuat menderita tapi juga reputasi media bersangkutan bisa tercemar serius. Mungkin karena risiko ini, banyak media besar serba tanggung dalam melakukan investigasi. Mereka lebih suka memperdagangkan labelnya saja tapi tak benar-benar masuk ke dalam investigasi.

Bob Woodward dari The Washington Post, salah satu wartawan yang investigasinya ikut mendorong mundurnya Presiden Richard Nixon karena skandal Watergate pada 1970-an, mengatakan salah satu syarat investigasi adalah “pikiran yang terbuka.”

Elemen keenam adalah jurnalisme sebagai forum publik. Kovach dan Rosenstiel menerangkan zaman dahulu banyak suratkabar yang menjadikan ruang tamu mereka sebagai forum publik di mana orang-orang bisa datang, menyampaikan pendapatnya, kritik, dan sebagainya. Di sana juga disediakan cerutu serta minuman.

Logikanya, manusia itu punya rasa ingin tahu yang alamiah. Bila media melaporkan, katakanlah dari jadwal-jadwal acara hingga kejahatan publik hingga timbulnya suatu trend sosial, jurnalisme ini menggelitik rasa ingin tahu orang banyak. Ketika mereka bereaksi terhadap laporan-laporan itu maka masyarakat pun dipenuhi dengan komentar –mungkin lewat program telepon di radio, lewat talk show televisi, opini pribadi, surat pembaca, ruang tamu suratkabar dan sebagainya. Pada gilirannya, komentar-komentar ini didengar oleh para politisi dan birokrat yang menjalankan roda pemerintahan. Memang tugas merekalah untuk menangkap aspirasi masyarakat. Dengan demikian, fungsi jurnalisme sebagai forum publik sangatlah penting karena, seperti pada zaman Yunani kuno, lewat forum inilah demokrasi ditegakkan.

Sekarang teknologi modern membuat forum ini lebih bertenaga. Sekarang ada siaran langsung televisi maupun chat room di internet. Tapi kecepatan yang menyertai teknologi baru ini juga meningkatkan kemampuan terjadinya distorsi maupun informasi yang menyesatkan yang potensial merusak reputasi jurnalisme.

Kovach dan Rosenstiel berpendapat jurnalisme yang mengakomodasi debat publik harus dibedakan dengan “jurnalisme semu,” yang mengadakan debat secara artifisial dengan tujuan menghibur atau melakukan provokasi.

Munculnya jurnalisme semu itu terjadi karena debatnya tak dibuat berdasarkan fakta-fakta secara memadai. “Talk is cheap,” kata Kovach dan Rosenstiel. Biaya produksi sebuah talk show kecil sekali dibandingkan biaya untuk membangun infrastruktur reportase. Sebuah media yang hendak membangun infrastruktur reportase bukan saja harus menggaji puluhan, bahkan ratusan wartawan, tapi juga membiayai operasi mereka. Belum lagi bila media bersangkutan hendak membuka biro-biro baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Ngomong itu murah. Mendapatkan komentar-komentar lewat telepon dan disiarkan secara langsung sangat jauh lebih murah ketimbang melakukan reportase.

Jurnalisme semu juga muncul karena gaya lebih dipentingkan ketimbang esensi. Jurnalisme semu pada gilirannya membahayakan demokrasi karena ia bukannya memperlebar nuansa suatu perdebatan tapi lebih memfokuskan dirinya pada isu-isu yang sempit, yang terpolarisasi. Buntutnya, upaya mencari kompromi, sesuatu yang esensial dalam demokrasi, juga tak terbantu oleh jurnalisme macam ini. Jurnalisme semu tak memberikan pencerahan tapi malah mengajak orang berkelahi lebih sengit.



SELAMA dua semester mengikuti program Nieman Fellowship, Bill Kovach mengusulkan agar kami ikut suatu kelas tentang penulisan nonfiksi. Dia menekankan perlunya wartawan belajar menulis narasi karena kekuatan jurnalisme cetak sangat ditentukan oleh kemampuan ini. Saya mengikuti nasehat Kovach dan belajar tentang suatu genre yang disebut narrative report atau jurnalisme kesastraan.

Anjuran itu sesuai dengan elemen ketujuh bahwa jurnalisme harus memikat sekaligus relevan. Mungkin meminjam motto majalah Tempo jurnalisme itu harus “enak dibaca dan perlu.” Selama mengikuti kelas narasi itu, saya belajar banyak tentang komposisi, tentang etika, tentang naik-turunnya emosi pembaca dan sebagainya.

Memikat sekaligus relevan. Ironisnya, dua faktor ini justru sering dianggap dua hal yang bertolakbelakang. Laporan yang memikat dianggap laporan yang lucu, sensasional, menghibur, dan penuh tokoh selebritas. Tapi laporan yang relevan dianggap kering, angka-angka, dan membosankan.

Padahal bukti-bukti cukup banyak, bahwa masyarakat mau keduanya. Orang membaca berita olah raga tapi juga berita ekonomi. Orang baca resensi buku tapi juga mengisi teka-teki silang. Majalah The New Yorker terkenal bukan saja karena kartun-kartunnya yang lucu, tapi juga laporan-laporannya yang panjang dan serius.

Kovach dan Rosenstiel mengatakan wartawan macam itu pada dasarnya malas, bodoh, bias, dan tak tahu bagaimana harus menyajikan jurnalisme yang bermutu.

Menulis narasi yang dalam, sekaligus memikat, butuh waktu lama. Banyak contoh bagaimana laporan panjang dikerjakan selama berbulan-bulan terkadang malah bertahun-tahun. Padahal waktu adalah sebuah kemewahan dalam bisnis media.

Di sisi lain, daya tarik hiburan memang luar biasa. Pada 1977 kulit muka majalah Newsweek dan Time 31 persen diisi gambar tokoh politik atau pemimpin internasional serta 15 persen diilustrasikan oleh bintang hiburan. Pada 1997, kulit muka kedua majalah internasional ini mengalami penurunan 60 persen dalam hal tokoh politik. Sedangkan 40 persen diisi oleh bintang hiburan.

Duet Kovach-Rosenstiel sebelumnya menerbitkan buku Warp Speed: American in the Age of Mixed Media di mana mereka melakukan analisis yang tajam terhadap liputan media Amerika atas skandal Presiden Bill Clinton dan Monica Lewinsky. Kebanyakan media suka menekankan pada sisi sensasi dari skandal itu ketimbang isu yang lebih relevan.

Elemen kedelapan adalah kewajiban wartawan menjadikan beritanya proporsional dan komprehensif. Kovach dan Rosenstiel mengatakan banyak suratkabar yang menyajikan berita yang tak proporsional. Judul-judulnya sensional. Penekanannya pada aspek yang emosional. Mungkin kalau di Jakarta contoh terbaik adalah harian Rakyat Merdeka. Suratkabar macam ini seringkali tidak proporsional dalam pemberitaannya.

Kovach dan Rosenstiel mengambil contoh yang menarik. Suratkabar sensasional diibaratkan seseorang yang ingin menarik perhatian pembaca dengan pergi ke tempat umum lalu melepas pakaian, telanjang. Orang pasti suka dan melihatnya. Pertanyaannya adalah bagaimana orang telanjang itu menjaga kesetiaan pemirsanya?

Ini berbeda dengan pemain gitar. Dia datang ke tempat umum, memainkan gitar, dan ada sedikit orang yang memperhatikan. Tapi seiring dengan kualitas permainan gitarnya, makin hari makin banyak orang yang datang untuk mendengarkan. Pemain gitar ini adalah contoh suratkabar yang proporsional.

Proporsional serta komprehensif dalam jurnalisme memang tak seilmiah pembuatan peta. Berita mana yang diangkat, mana yang penting, mana yang dijadikan berita utama, penilaiannya bisa berbeda antara si wartawan dan si pembaca. Pemilihan berita juga sangat subjektif. Kovach dan Rosenstiel bilang justru karena subjektif inilah wartawan harus senantiasa ingat agar proporsional dalam menyajikan berita.

Masyarakat bisa tahu kalau si wartawan mencoba proporsional atau tidak. Sebaliknya masyarakat juga tahu kalau si wartawan cuma mau bertelanjang bulat.



SETIAP wartawan harus mendengarkan hati nuraninya sendiri. Dari ruang redaksi hingga ruang direksi, semua wartawan seyogyanya punya pertimbangan pribadi tentang etika dan tanggungjawab sosial. Ini elemen yang kesembilan.

“Setiap individu reporter harus menetapkan kode etiknya sendiri, standarnya sendiri dan berdasarkan model itulah dia membangun karirnya,” kata wartawan televisi Bill Kurtis dari A&E Network.

Menjalankan prinsip itu tak mudah karena diperlukan suasana kerja yang nyaman, yang bebas, di mana setiap orang dirangsang untuk bersuara. “Bos, saya kira keputusan Anda keliru!” atau “Pak, ini kok kesannya rasialis” adalah dua contoh kalimat yang seyogyanya bisa muncul di ruang redaksi.

Menciptakan suasana ini tak mudah karena berdasarkan kebutuhannya, ruang redaksi bukanlah tempat di mana demokrasi dijalankan. Ruang redaksi bahkan punya kecenderungan menciptakan kediktatoran. Seseorang di puncak organisasi media memang harus bisa mengambil keputusan –menerbitkan atau tidak menerbitkan sebuah laporan, membiarkan atau mencabut sebuah kutipan yang panas—agar media bersangkutan bisa menepati deadline.

Membolehkan tiap individu wartawan menyuarakan hati nurani pada dasarnya membuat urusan manajemen jadi lebih kompleks. Tapi tugas setiap redaktur untuk memahami persoalan ini. Mereka memang mengambil keputusan final tapi mereka harus senantiasa membuka diri agar tiap orang yang hendak memberi kritik atau komentar bisa datang langsung pada mereka.

Bob Woodward dari The Washington Post mengatakan, “Jurnalisme yang paling baik seringkali muncul ketika ia menentang manajemennya.”

Pada hari pertama Nieman Fellowship, Bill Kovach mengatakan pada 24 peserta program itu bahwa pintunya selalu terbuka. Terkadang dia sering harus mengejar deadline dan mengetik, “Raut wajah saya bisa galak sekali bila seseorang muncul di pintu saya. Tapi jangan digubris. Masuk dan bicaralah.” ¨

*Diterbitkan di Majalah Pantau edisi Desember 2001

Cermin Jakarta, Cermin New York

Jatuh bangun majalah New Yorker.

Oleh ANDREAS HARSONO

WAKTU itu Salatiga hangat dengan macam-macam diskusi politik dan distribusi novel terlarang Pramoedya Ananta Toer. Mahasiswa mengagumi Arief Budiman, seorang pembangkang-cum-dosen Universitas Kristen Satya Wacana, yang banyak melancarkan kritik terhadap kapitalisme, liberalisme, seraya mempromosikan sosialisme. Orang suka bicara politik walau berbisik.

Suatu sore yang tenang, di sebuah pondokan di Jalan Cemara II, seorang mahasiswa menyodorkan fotokopi majalah berbahasa Inggris berisi laporan tentang Soeharto, bisnis anak-anaknya, perseteruan Jendral Benny Moerdani dan Wakil Presiden Sudharmono, Islam, Timor Timur dan sebagainya.

Saya kurang perhatikan judulnya. Tapi ada kalimat "A Reporter at Large" mencolok. Disain majalahnya agak tak lazim, model majalah kuno pada 1960-an.

"Berapa ongkos fotokopi ini?" tanya saya.

"Gampang," ujarnya singkat.

Malam itu saya baca laporan yang ditulis oleh Raymond Bonner itu. Laporan dibuka dengan isi dokumen rahasia Rand Corporation -lembaga think tank berpengaruh di Washington DC- beberapa saat setelah Shah Reza Pahlevi dari Iran tersingkir oleh gerakan revolusi Islam. Menurut laporan itu, ada tiga negara lain yang bisa meniru Iran: Korea Selatan, Filipina dan Indonesia.

Ketiganya dipimpin oleh penguasa otoriter, Chun Doo-Hwan, Ferdinand Marcos serta Soeharto, yang tak segan memanipulasi pemilihan umum, melakukan pembunuhan politik, melakukan korupsi dan dekat dengan dunia barat. Pada lapisan menengah dan bawah ada ketakpuasan yang akut terhadap Chun, Marcos dan Soeharto. Konon saking rahasianya, laporan Rand Corporation hanya dicetak 20 eksemplar dan dibagikan ke kalangan terbatas. Presiden Ronald Reagan termasuk satu di antaranya.

Perlahan laporan itu menarik saya masuk ke detail demi detail politik Indonesia. Bonner mengutip profesor-profesor Yogyakarta, mahasiwa Bandung, cendekiawan Padang, wartawan Jakarta, seorang rektor Makassar dan, bagai film kolosal, Bonner menghanyutkan pembaca, pelan-pelan memahami rumitnya sebuah negara yang bernama Indonesia.

Bonner tinggal selama dua bulan di Indonesia. Ia buat janji wawancara di Jakarta, Padang, Makassar, Yogyakarta, Bandung bahkan Darwin di Australia, ketika ia tak mendapat ijin pergi ke Timor Timur.

Bonner bicara dengan orang-orang asing yang kenal Indonesia, misalnya, Ed Masters dan Marshall Green, mantan dutabesar Amerika di Jakarta. Frederick Bunnel, profesor ilmu politik dari Amerika. Jack Whittleton dutabesar Kanada di Jakarta. Bonner juga bicara dengan Jose Costa Alves yang menjadi konsul jendral Portugis di Darwin atau gubernur Timor Timur Mario Viegas Carrascalao, pengusaha "Hotel Turismo" Dili Sebastian Calado.

Buat mahasiswa yang suka diskusi, laporan itu menyenangkan karena informasi yang jarang dimuat media massa Indonesia, tercetak lengkap dari fakta, gosip hingga rasa kecewa, marah dan kecut. Ibaratnya, saya mengerti politik Jakarta, dengan memandang cermin yang diletakkan oleh Bonner. Saya agak lupa berapa lama saya baca laporan Bonner. Semuanya 40 halaman tanpa foto. Tapi seingat saya, semalam suntuk saya pakai buat membacanya. Esok hari saya terlambat bangun.

Dalam kantuk, saya perhatikan apa nama majalah yang memberi tempat buat artikel sedahsyat ini.

Namanya ... The New Yorker.

***

BEBERAPA saat setelah Perang Dunia I usai. Ekonomi Amerika bergerak lagi, terutama di New York, kota pelabuhan dan perdagangan terpenting di negara itu yang mengundang banyak pendatang. Salah satunya adalah wartawan bernama Harold W. Ross.

Ross kelahiran 1892 di Alpen, Colorado. Sekolahnya agak berantakan. Pada usia belasan tahun, Ross memutuskan jadi wartawan. Kerjanya pindah dari kota ke kota: Sacramento, Panama, New Orleans, Atlanda sebelum jadi sukarelawan tentara Amerika Serikat dalam Perang Dunia I.

Ia dikirim ke Paris pada 1917. Tapi tak lama, Ross melakukan desersi, dasar anak badung, bukan dihukum, malah dipercaya jadi editor Stars and Stripes, mingguan tentara Amerika. Misi mingguan ini menyediakan hiburan untuk menjaga moral tentara Amerika.

Ross cukup berhasil. Ia menyajikan humor, dan kartun, bahkan menerbitkan buku tentang humor prajurit. Selera humor Ross tinggi sekali. Ia juga menikmati seni, makan enak, jalan-jalan, namun di atas segalanya, Ross muda sangat tertarik pada kata-kata. Ia mencintai sastra dan gemar melatih kepekaan kritik sastra.

Di Paris pula, teman dekat dan rekan kerja Ross, Alexander Wolcott, memperkenalkan Ross dengan Jane Grant, wartawati The New York Times. Mereka jatuh cinta, pacaran dengan hangat, hingga satu saat bicara tentang rencana mereka menikah. Grant mengajak Ross tinggal di New York. Ross menolak. New York menurut Ross adalah "kota yang menakutkan."

Grant membujuknya, dan Ross hatinya leleh, mereka menikah. Bersama dua orang teman, pasangan muda ini menyewa rumah di Manhattan, daerah paling sibuk di New York, dan menjadikannya sebuah komunitas. Di sana wartawan, seniman, pengacara, suka berkumpul dan berdiskusi seni, dan sastra.

Ross bekerja sebagai editor di sebuah majalah. Tapi lama-lama, ia berpikir untuk menerbitkan koran sendiri. Ia punya beberapa ide: sebuah harian khusus isu perkapalan, penerbitan buku, dan sebuah "majalah ringan."

Grant memperkenalkan suaminya dengan Raoul H. Fleischmann, seorang Yahudi kaya dari keluarga besar pemilik perusahaan roti. Fleischmann sebenarnya tak suka pada bisnis keluarganya. Ia menjalankan bisnis roti karena rasa pertanggungjawaban semata pada ibu dan saudara perempuannya. Ketika bisnis itu mapan, Fleischmann ingin terjun ke bisnis yang tak sekedar berdagang komoditi.

Fleischmann tertarik dengan proposal Ross. Apalagi ekonomi Amerika sedang tumbuh, tarif pengiriman pos menggiurkan, dunia periklanan butuh media nasional, teknologi cetak foto meningkat serta teknik penjilidan menjadi lebih cepat. Fleischmann bersedia jadi penerbit majalah ini, dan Ross menjadi editornya.

Ross ingin majalah ini menjadi suratkabar yang sophisticated. Artinya ia diciptakan untuk konsumsi orang-orang sekolahan, mengerti seni dan sastra, tapi butuh informasi dan analisis mendalam. Majalah ini bukan majalah berita. Ross bahkan tak suka dengan tenggat berita. Ross menekankan unsur humor dalam majalahnya. Ini tak mudah karena menulis artikel yang bisa membuat orang tersenyum, merasa lucu, lebih sulit daripada membuat laporan biasa, berisi informasi.

Ia mengajak teman-teman diskusinya untuk mengisi majalah itu. Ada yang penuh waktu, ada yang paruh waktu. Pada 21 Februari 1925 mingguan The New Yorker meluncur ke pasar. Mulanya dicetak 30 ribu eksemplar tapi ditambah menjadi 40 ribu karena permintaan pasar. Dalam setahun, format dan disain The New Yorker menemukan bentuknya.

Thomas Kunkel dalam buku "Genius in Disguise" menganggap The New Yorker sebuah ironi. Bagaimana sebuah majalah yang dianggap paling sophisticated di Amerika, ternyata lahir dari tangan seorang wartawan kota kecil, yang sekolahnya tak beres, apalagi menyandang gelar dari kampus-kampus besar macam Harvard, Yale atau Stanford.

Ini sebuah bukti lagi bahwa orang bukan sekolahan bukan tak mungkin menghasilkan karya yang bagus. Kunkel menekankan bahwa hal ini mungkin terjadi karena Ross adalah pribadi yang bisa belajar sendiri.

Kunkel membeberkan prestasi Ross secara jelas. Ross memoles orang-orang berbakat menjadi penulis hebat. Seusai membaca laporan kontributornya, Ross suka membuat satu daftar pertanyaan buat mereka. Para kontributor The New Yorker dipaksa berpikir lebih keras, menerangkan setiap ide, logika, tata bahasa, setelah membaca daftar pertanyaan Ross.

Sirkulasi The New Yorker naik, dari rata-rata 14.064 per minggu pada 1925 menjadi 46.446 pada 1926. Sepuluh tahun sirkulasinya naik jadi 128.210 dan pada 1941 jadi 171.665. Kenaikan terjadi tanpa biaya promosi besar. Antara 1927 dan 1940, The New Yorker menjadi satu dari tiga majalah top di Amerika dari segi penghasilan.

Dari sisi segmentasi pembaca, The New Yorker lebih menarik dari dua saingannya, Reader's Digest dan Time, karena separuh pembacanya tinggal di New York, kota terbesar, dan terkaya di Amerika. Antara 1925 dan 1927, Fleischmann merugi tapi dari 1928, ia beruntung. Pada tahun keempat majalah ini mendapat laba bersih (sesudah pajak) US$287,000, lalu US$486,100 pada 1929 dan meningkat US$619,400 pada 1934.

Buat Ross, menjadi seorang editor berarti menjadi anonim, memainkan peran Pygmalion, yang tersembunyi, tak terdengar dan tak kelihatan. Ross memainkan peran itu dengan sempurna, ia mempekerjakan penulis-penulis legendaris macam E.B. White, John Hersey, Wolcott Gibbs, John O'Hara, John Updike, Rebecca West dan seterusnya. Di antara para kartunis besar terdapat juga Charles Addams, Helen Hokinson, James Thurber, Roz Chast, Peter Arno dan Rea Irvin.

Menurut Brendan Gill dalam "Here at the New Yorker," selama puluhan tahun Ross menjalankan peran ayah-paman-kakak-pengasuh-pastor buat para kontributor The New Yorker. Ross meminjami duit. Ross mengirim kontributor yang sakit ke ruang operasi. Ross mengurus perselingkuhan. Ross mengurus orang mati. Ia juga menerima protes. John O'Hara, misalnya, seorang pengarang cerita pendek, selalu merengek minta honornya dinaikkan. Ia suatu saat mengirim memo, "Ross, saya butuh uang, saya butuh uang, saya butuh uang, ...."

Dari urusan serius hingga paling lucu, mau tak mau, diurusi Ross. Gill tak melihat kejengkelan Ross ketika Gill bekerja di sana. Gill merasa ia kurang diperhatikan. Ini kebiasaan semua kontributor, dari penulis hingga artis. Gill justru merasakan peran Ross setelah ia keluar dari The New Yorker.

Dengan berjarak Gill merasa bahwa Ross ternyata mengambil peran macam-macam buat orang-orang kreatif yang bekerja di The New Yorker. Dengan gaya bicaranya yang berapi-api, terkadang memaki, tapi selalu lembut pada perempuan. Ross memimpin majalah ini dengan penuh kesabaran. Terkadang gayanya meledak-ledak. Ross suka mengumpat, tentu dengan humor, di depan orang banyak. Satu saat Ross mengumpat, "Kantor ini, sebenarnya mirip sarang semut. Tak ada satu orang pun yang tak bermasalah di sini. Lihat (nama orang) yang mengaku buah pelirnya bengkak, atau (nama lain) yang mengira lubang duburnya buntu. Masya Allah, apa tak cukup masalah di dunia ini dari sekedar mengurus sampah beginian?"

Dalam "Genius in Disguise," Kunkel tak mampu menyembunyikan kekaguman pada Ross. Tapi Kunkel menjaga jarak agar bisa melihat kelemahan-kelemahan Ross. Kunkel menggambarkan Ross orang ceroboh. Ross senantiasa kekurangan uang walau penghasilannya besar. Ia acapkali ditipu orang dekatnya. Seorang sekretaris pernah meniru tandatangan Ross selama beberapa tahun hingga Ross menderita kerugian US$75 ribu tanpa sadar.

Ross menikah tiga kali, dan tiga kali gagal dengan perkawinannya. Ross pisah dari Grant pada 1927 dan cerai dua tahun sesudahnya. Mungkin Ross terlalu sibuk dengan The New Yorker sehingga tak punya waktu banyak buat keluarganya. Ross menikah dengan istri keduanya yang memberinya seorang putri.

Walau sudah cerai dengan Grant, Ross terikat kontrak memberi bantuan keuangan pada Grant. Ross juga rutin bertemu dengan mantan istri pertamanya karena Grant ikut mendirikan, dan memegang saham The New Yorker. Grant juga dibutuhkan karena ia bisa menjembatani perseteruan Ross dan Fleischmann.

***

PERANG Dunia II mengubah penampilan The New Yorker. Jane Grant mengusulkan The New Yorker dicetak khusus untuk edisi perang. Rapat pemilik saham setuju dan majalah ini menciptakan edisi mini, tanpa iklan dan ukurannya lebih kecil, khusus dibagikan buat tentara Amerika di medan perang.

Sambutan prajurit Amerika ternyata besar sekali sehingga pihak militer Amerika bersedia membayar subsidi kertas dan biaya lain sedemikian rupa sehingga edisi mini ini sampai dicetak 150 ribu pada akhir 1944. Bersamaan dengan terbitnya edisi mini, para kontributor The New Yorker lebih banyak meliput perang besar itu.

Koresponden The New Yorker A.J. Liebling pada Maret 1943 menerbitkan laporan, "The Foamy Fields," tentang sebuah kamp angkatan udara Amerika, dengan pilot, mekanik dan perwira intelijen di selatan Tunisia di Afrika utara.

Liebling datang suatu malam, tidur di sebuah tenda berlubang, bersama dua mekanik. Suasana gelap sekali, karena dilarang menyalakan lampu, yang memudahkan musuh menyerang. Liebling bahkan tak mengenal wajah teman setendanya walau mereka berkenalan dan bercakap-cakap dalam gelap. Mereka datang ketika gelap dan sebelum terang sudah keluar dari tenda.

Laporan Liebling berbeda dengan kebanyakan laporan perang lain karena ia justru tak tertarik pada masalah makro. Dia bercerita bagaimana ia berkenalan dengan pilot muda. Sambil menunggu jam patroli, para pilot itu bermain dengan anak-anak anjing, lalu membuka kiriman surat. Ada yang dapat kue kering, permen, majalah, mereka juga main kartu. Semua senang, tertawa, dan tengah hari, mereka santai menuju hanggar buat patroli rutin. "Sebentar saja," ujar seorang dari delapan pilot itu pada Liebling.

Dua jam, patroli itu kembali, Liebling kaget ketika melihat pesawat pertama mendarat dengan roda tak mau keluar dari sangkarnya. Cairan oli menetes keluar. Pendaratan yang berbahaya tapi selamat. Pilotnya penuh luka. Lalu pesawat dua, tiga, empat, lima, juga datang, tubuh pesawat penuh tembakan, kaca pecah. Tapi pesawat keenam, ketujuh dan kedelapan tak kembali.

Patroli rutin itu berubah jadi tragedi. Mereka disergap pesawat Jerman. Dan pilot yang bilang "sebentar" termasuk yang tertembak pesawat Jerman.

Liebling memakai kata "saya" untuk bercerita apa yang dilihatnya. Liebling sebenarnya bercerita tentang kegetiran perang, tentang dilema kekerasan untuk menyelesaikan pertikaian. Liebling menjadikan perang sebagai sesuatu yang dekat, yang kejam, dilihat dari jarak dekat. Banyak yang meniru gaya Liebling.

Ada kontributor yang menyaksikan langsung bagaimana bom dijatuhkan di daerah Jerman. Ia masuk ke perut pesawat bomber, mencatat anak muda yang ragu menjatuhkan bom, atau pilot yang kuatir terkena tembakan meriam anti-pesawat. Ada kontributor yang menyaksikan pertempuran di Iwo Jiwa. Ada juga yang meliput Teluk Persia. Samudera Pasifik. Okinawa.

Janet Flanner, koresponden The New Yorker di Paris, membuat cerita yang menarik tentang seorang nyonya Amerika yang melarikan diri dari Paris, lewat pemeriksaan demi pemeriksaan, hingga kembali di Amerika.

Namun, namanya juga perang, The New Yorker terpaksa memberikan toleransi terhadap laporan yang berlepotan, kiriman via kawat kadang tidak sambung, terpaksa diulang, tambah bobrok -sehingga pekerjaan editor jadi banyak melakukan penulisan ulang. Editor macam Ross memperlihatkan kekuatannya justru ketika harus mengubah laporan yang berlepotan, minta kiriman ulang, mengecek ulang fakta demi fakta, menimbang logika, dan mengubah laporan medan perang itu jadi artikel yang enak dibaca.

Saking dahsyatnya liputan kontributor macam Liebling dan Flanner, dua tahun setelah perang usai, pada 1947, majalah ini menerbitkan buku "The New Yorker Book of War Pieces." Isinya melulu liputan Perang Dunia II. Buku ini dianggap karya klasik sehingga terus-menerus dicetak ulang hingga kini.

Namun dari sekian naskah perang, tampaknya tak ada yang mengalahkan laporan John Hersey berjudul "Hiroshima" yang terbit 31 Agustus 1946. Laporan ini sering disebut sebagai karya jurnalisme terpenting di Amerika abad XX.

Hersey mulanya bekerja buat majalah Life. Alumnus Universitas Yale dan tinggal di Cambridge, kota kecil di pinggiran Boston. Wartawan muda ini suatu sore pada 1942 pergi dengan istrinya, Frances Ann Cannon, menonton sebuah pertunjukan seni.

Menurut Ben Yagoda -memanfaatkan arsip-arsip internal The New Yorker buat bahan "About Town"- Cannon memperkenalkan suaminya dengan bekas pacarnya, seorang letnan angkatan laut Amerika bernama John F. Kennedy. Kedua lelaki ini tampaknya cocok apalagi setelah Kennedy bercerita bagaimana kapalnya tenggelam di sebuah pulau di selatan Pasifik.

Selama berhari-hari, Kennedy berenang, dari satu pulau ke pulau lain, membawa anak buahnya yang luka, untuk mencari bantuan. Ia harus berhati-hati karena patroli Jepang acap muncul di perairan itu. Hersey tertarik pada heroisme Kennedy dan memutuskan untuk mewawacarai Kennedy lebih dalam beserta beberapa anak buahnya.

Hersey menawarkan laporan itu kepada Life tapi ditolak sehingga dialihkannya ke The New Yorker dengan judul "Survival." Kelak "Survival" dicetak ratusan ribu oleh keluarga Kennedy, untuk membantu kampanye John F. Kennedy menjadi senator dan, pada gilirannya, Presiden Amerika Serikat.

"Survival" juga membuat Hersey dekat dengan The New Yorker. Ketika pada akhir 1945 ia hendak pergi ke Cina dan Jepang, untuk melihat situasi pasca Perang Dunia II, ia mendatangi dulu kantor The New Yorker.

Hersey bertemu dengan William Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, dengan siapa ia berdiskusi sekitar 10 buah ide laporan. Satu di antaranya membuat laporan pemboman lewat kacamata penduduk kota yang dijadikan sasaran bom.

Ide ini mulanya hendak dikerjakan oleh kontributor lain terhadap kota Cologne, Jerman, yang dihujani bom sekutu. Tapi pemboman Hiroshima membuat Cologne terlihat kecil. Shawn menawarkan ide tersebut pada Hersey untuk diterapkan di Hiroshima.

Dalam perjalanan kapal laut dari Cina ke Jepang, iseng-iseng Hersey membaca novel "The Bridge of San Luis Rey" karangan Thornton Wilder yang bercerita tentang bencana alam di Peru pada abad 18. Hersey menganggap ide Wilder yang menceritakan bencana itu dari pandangan beberapa korban bisa dipakainya di Jepang.

Setibanya di Hiroshima, Hersey mewawancarai sekitar 40-an akademisi dan ahli. Tapi ia juga bicara dengan para korban, lima di antaranya orang Jepang dan satu orang pastor Jerman. Keenam orang itulah yang dijadikan Hersey sebagai karakter utama dalam laporannya.

Hersey menceritakan dahsyatnya bom itu. Ada kulit terkelupas, ada desas-desus soal bom rahasia, ada kematian yang menyeramkan, ada dendam, ada perasaan rendah diri. Semua campur aduk ketika Hersey merekamnya dan menjadikannya salah satu artikel termahsyur dalam sejarah jurnalisme Amerika. Ia menceritakannya lewat pengalaman enam orang itu.

Ketika kembali ke Amerika, Hersey butuh waktu enam minggu untuk menulis. Mula-mula Hersey membuatnya jadi empat bagian, dengan harapan, The New Yorker memuatnya dalam empat nomor bersambung. Shawn mengedit keempatnya hingga selesai. Shawn merasa laporan Hersey bagus sekali sehingga ia datang ke Ross dan berkata, "Ini tidak bisa dibuat bersambung. Ini harus terbit sekali jadi." Ross agak bingung karena laporan Hersey sepanjang 30 ribu kata bakal menghabiskan seluruh halaman majalah itu.

Selama 10 hari, dari pukul 10 pagi hingga pukul 2 dini hari, Shawn dan Ross mengurung diri di kamar kerja Ross, melakukan editing laporan tersebut. Gaya Ross dalam menyunting adalah melayangkan pertanyaan tertulis. Untuk bagian pertama saja, Ross menghasilkan 47 pertanyaan buat Hersey. Ketika sudah direvisi, Hersey masih mendapat enam pertanyaan lagi. Ross bertanya hal-hal kecil, misalnya, kejelasan, konsistensi, diksi, tata bahasa atau logika. Ross memutuskan laporan Hersey bisa terbit dalam satu nomor.

Sehari sebelum diterbitkan, The New Yorker mengirim nomor awal edisi itu ke koran lain. Surat pengantarnya menjelaskan bagaimana bom itu membunuh 100 ribu dan melukai 100 ribu penduduk Hiroshima yang jumlahnya 245 ribu.

Ketika muncul di pasar, The New Yorker habis diserbu pembaca. Minggu itu tak ada media Amerika yang tak memberitakan laporan Hersey. New York Times memuatnya. New York Herald Tribune membuat ringkasannya. America Broadcasting Company membacakan laporan itu buat pendengarnya empat hari, masing-masing setengah jam, berturut-turut tanpa interupsi siaran iklan. Di seberang Samudera Atlantik, radio British Broadcasting Corporation juga membacakan naskah Hersey.

Seorang pembaca The New Yorker menulis tak seorang pun tak membicarakan laporan Hersey selama dua hari berturut-turut di seluruh New York, di restoran, di kereta api, dan di rumah. Koran-koran memberitakannya dan New York meledak gara-gara laporan Hersey.

Laporan Hersey memicu sebuah gerakan anti bom nuklir, yang gemanya terasa hingga beberapa dekade, terutama dalam suasana Perang Dingin. Laporan Hersey juga menggugah kesadaran manusia bahwa bom nuklir tak layak dipakai dalam perang, ia secara pukul rata membunuh semua orang, sipil atau militer, wanita dan anak-anak.

Laporan Hersey juga mengukuhkan The New Yorker sebagai majalah serius. Ia bukan lagi majalah ringan. Kehadirannya diperhitungkan. Konon fisikawan nuklir Albert Einstein, tak mendapatkan edisi 31 Agustus 1946 tersebut. Einstein ingin membeli 1.000 buah lagi buat diberikan ke teman-temannya. Majalah itu laku habis. Einstein tak kebagian.

***

PADA 5 Desember 1951, maut menjemput Ross karena kanker saluran pernafasan. Ia meninggalkan seorang putri, yang masih kecil, serta istri ketiga yang dalam proses perceraian. Shawn, redaktur pelaksana The New Yorker, resmi menggantikan Ross pada 21 Januari 1952.

Berbeda dengan Ross yang ramai, dan suka bergurau, Shawn orang sopan, pendiam, pemalu, walau terkadang dianggap eksentrik dan misterius. Kalau Ross senang mengirim surat dan memo, Shawn hemat tulisan, Shawn lebih suka bicara via telpon, tatap muka, atau mengirim telegram pendek. Ketika mulai bekerja, Shawn, tak menunjukkan kemampuan menulis yang luar biasa. Tapi ia teliti dalam reportase.

Tapi kesamaan Ross dan Shawn adalah kecintaan mereka pada jurnalisme. Mereka juga tak suka publikasi, dan tak mau namanya muncul dalam The New Yorker. Suksesi ini mulus karena Shawn termasuk editor senior, dan tak ada seorang pun berharap Shawn menciptakan perubahan pada The New Yorker.

Ben Yagoda menggambarkan sepuluh tahun pertama kepemimpinan Shawn sebagai biasa-biasa saja. Shawn menjaga mutu The New Yorker, tapi perlahan-lahan ia merekrut orang muda berbakat, menggantikan orang lama. Ia tak segan menelpon pers mahasiswa, mengajak wartawan muda, bergabung ke The New Yorker.

Seorang wartawan Harvard Crimson, koran mahasiswa Universitas Harvard, satu hari menerima telpon, suara sopan di ujung telpon memperkenalkan diri, "Saya William Shawn dari The New Yorker." Mahasiswa itu mengira ada teman mengerjainya. Telpon dibanting. Beberapa tahun kemudian dia sadar bahwa Shawn memang menelponnya hari itu.

Shawn, dengan gaya kepemimpinan yang sopan, perlahan-lahan mencapai lagi era gemilang The New Yorker ala Ross. Satu demi satu, artikel hebat bermunculan, mulai dari Truman Capote yang menulis pembunuhan berdarah dingin sebuah keluarga petani, hingga laporan pengadilan satu tukang jagal Nazi Jerman, yang ditangkap di Argentina dan diadili di Israel. Orang mulai berdecak kagum pada Shawn.

Pada Juni 1962 Shawn menerbitkan laporan ahli biologi Rachel Carson berjudul "Silent Spring." Laporan ini bercerita dampak pemakaian pestisida terhadap ekosistem. Pestisida mematikan serangga tapi meracuni tanaman pangan, membuat polusi lingkungan hidup, membunuh binatang lain bahkan membahayakan manusia.

Carson butuh tiga tahun untuk riset, meliput pengadilan perusahaan produsen pestisida, dan wawancara buat "Silent Spring." Karyanya dianggap monumental, karena pertama kali, dalam sejarah biologi, hubungan manusia dan alam, dijelaskan secara populer dan detail. Ketakpedulian manusia akan lingkungan hidupnya, berarti malapetaka.

Laporan Carson membuat penjualan The New Yorker meloncat tinggi. Ia setidaknya mencapai tingkat sensasi hampir sama dengan "Hiroshima" karya John Hersey. Ketika diterbitkan sebagai buku, harian New York Times mencatat "Silent Spring" sebagai buku paling laku selama 32 minggu. "Silent Spring" bahkan selama beberapa dasawarsa menjadi inspirasi gerakan lingkungan hidup modern.

Shawn juga menerbitkan esei James Baldwin, judulnya "Down at the Cross" yang risetnya mulai 1959 ketika Baldwin mengajukan proposal bepergian ke Afrika. Baldwin ingin menulis benua hitam ini, dari mana budak-budak perkebunan Amerika didatangkan. Tapi Baldwin kurang mujur. Reportasenya tak selesai.

Sebagai ganti, ia membuat sebuah esei, tentang hubungan orang kulit hitam dan kulit putih di Amerika. Baldwin mengira eseinya bakal ditolak. The New Yorker tak pernah memuat esei. Ternyata Shawn menerima. Ini salah satu perubahan radikal yang dibuat Shawn. Ia merasa ketakmauan Ross memuat esei sudah saatnya ditinggalkan. The New Yorker perlu memuat ide-ide baru, agar pembaca bisa mengikuti pemikiran-pemikiran mutakhir.

Di Amerika, isu rasial adalah isu peka. Baldwin menyerang orang kulit putih liberal yang menganggap "pernyelesaian masalah Negro tergantung pada kecepatan orang-orang Negro untuk menerima dan berasimilasi dengan standar hidup orang kulit putih." Baldwin berargumentasi orang kulit hitam, sebagaimana layaknya kaum minoritas di mana pun, berhak punya kebudayaan dan standar hidup sendiri. Mereka tak harus mengikuti kehendak mayoritas!

Baldwin ikut mengompori gerakan anti-diskriminasi rasial di Amerika. Secara internal The New Yorker konsisten dengan mempekerjakan wartawan kulit hitam. Jaman Harold Ross, semua wartawan The New Yorker orang kulit putih. Tapi Shawn mengubahnya.

***

PADA 1965 ketika The New Yorker merayakan ulang tahun ke-40, media lain berlomba-lomba menurunkan laporan sukses majalah ini. Tapi seorang kontributor harian New York Herald Tribune, Tom Wolfe, ingin tampil beda. Ia minta waktu wawancara dengan Shawn, sebagaimana biasa, Shawn menolak, menolak menjawab pertanyaan tertulis, menolak melakukan verifikasi naskah Wolfe.

Wolfe jalan terus dan menerbitkan sebuah parodi dengan judul "Tiny Mummies" di mana Wolfe mengolok-olok para redaktur The New Yorker sebagai orang yang kerjanya mengawetkan ... mumi peninggalan Harold Ross. Majalah The New Yorker seakan-akan disebutnya sudah mati, tinggal mayat, yang diawetkan Shawn, yang dioloknya sebagai orang bertubuh kecil, pendiam, kalau bicara berbisik, kalau bergerak lamban.

Menurut Yagoda, dalam buku "About Town," kritik ini tak benar karena The New Yorker di bawah Shawn sudah berubah dari majalah peninggalan Ross. Dalam periode Shawn, muncul beberapa laporan hebat karya Rachel Carson, Truman Capote, James Baldwin dan sebagainya. Shawn juga memberi banyak perhatian pada Perang Vietnam, mengambil sikap yang kritis terhadap perang itu, dengan mengijinkan cendekiawan Amerika yang anti-Perang Vietnam untuk mengisi halaman The New Yorker. Shawn juga menurunkan banyak laporan soal bencana dan lingkungan hidup.

Ada dua Ross yang berpengaruh dalam hidup Shawn. Ross yang kedua, seorang wanita, bernama Lilian Ross. "Tiny Mummies" mengungkap hubungan "intim" antara Shawn dengan Ross kedua, salah seorang redaktur senior The New Yorker. Menurut Wolfe, Lillian dalam sehari bisa beberapa kali berada di ruangan Shawn. Mereka sering makan bersama, nonton teater, menikmati konser, jalan bersama dan sebagainya. Wolfe mengungkapkan masa kecil Shawn yang tak bahagia. Ia bersaudara 12 orang. Seorang teman Shawn diculik di depan mata Shawn dan ditemukan mati terbunuh.

Dibongkarnya rahasia-rahasia pribadi ini menyakitkan Shawn. Wolfe menuai 16 surat protes gara-gara laporannya. Seseorang menyebut laporan itu bukan saja "brutal" tapi memanfaatkan kelemahan Shawn, kekurangan fisik dan psikologisnya, untuk dilukai. Orang lemah, seharusnya diberi simpati, bukan diolok-olok. Laporan Wolfe, setelah dicek, juga mengandung lebih dari selusin kesalahan fakta.

Menariknya, 33 tahun setelah parodi Wolfe, Lillian Ross menerbitkan buku "Here But Not Here: A Love Story" di mana ia menceritakan romannya selama 40 tahun dengan Shawn. Lillian menceritakan bagaimana ia mulai bercinta dengan Shawn. Lillian memakai apartemen seorang bintang film, sekitar 10 blok dari apartemen Shawn, untuk menjalin hubungan asmara. Lillian merayakan setiap libur Natal bersama Shawn tapi membiarkan Shawn merayakan liburan Thanksgiving bersama istri dan anak-anaknya.

"Bill mengatakan bahwa Cecille menerima pengaturan ini. Saya pikir, 'Mungkin Cecille sangat mencintai Shawn sehingga ia membiarkan Shawn melakukan apa saja asal Shawn tetap hidup,'" kata Lillian Ross.

Renata Adler dalam buku "Gone: The Last Days of The New Yorker" mengatakan bahwa Lillian memang orang yang paling dekat dengan Shawn. Adler menyebut Lillian -yang sebagai wartawan sangat terkenal karena liputannya tentang sastrawan Ernest Hemingway dan sutradara John Houston- sebagai "istri kantor" Shawn. Jadi Shawn punya dua istri: Cecille Shawn, istri resminya di rumah dan Lillian Ross, istri kantor.

Adler menganggap terbitnya buku "Here But Not Here," bukan saja penghinaan buat Cecille dan kedua anak lelaki Shawn, tapi juga pada Shawn sendiri. Sejauh ini keluarga Shawn tak pernah mengeluarkan reaksi apa pun terhadap Lillian Ross. Shawn memang misterius. Selama 38 tahun memimpin The New Yorker, ia jarang memberikan wawancara. Shawn pendiam, pemalu, pekerja keras, dan bahkan menghancurkan banyak dokumennya sendiri, termasuk korespondensi, sehingga sejauh mana kebenaran buku Lillian Ross, juga masih misteri.

***

SEJAK awal 1970-an kalangan dalam The New Yorker mulai bicara soal siapa yang bakal menggantikan Shawn. Shawn sadar bahwa usianya sudah menginjak kepala tujuh. Pada 1978 Shawn mengirim surat pengunduran diri pada direksi The New Yorker.

Tapi dua bulan berikutnya, Shawn membatalkan niat mundur tersebut, dengan alasan banyak orang tua, antara lain, maestro seni lukis Picasso, berprestasi ketika mereka berumur 70 tahun ke atas. Editor veteran ini tampaknya kurang sreg dengan seorang wakilnya yang bakal menggantikannya. Shawn menjagokan editor yang lebih muda. Tapi orang muda ini kurang disukai oleh anggota redaksi The New Yorker. Ia dianggap kurang berpengalaman dan terlalu meniru Shawn.

Lama-lama, Shawn dianggap rewel soal penggantinya. Ia tak percaya pada orang lain. Ia juga gagal mendelegasikan wewenang. Dalam periode magang, orang-orang yang diharapkan jadi pengganti Shawn, sering tak berdaya karena Shawn membiarkan para wartawan mengabaikan mereka. Ada calon ketiga yang memilih keluar dari The New Yorker untuk jadi editor majalah lain.

Pada 1984 kinerja majalah ini mulai menurun dihantam persaingan dengan televisi maupun majalah sejenis. Perang Vietnam mempengaruhi sirkulasi The New Yorker karena sikap editorialnya yang agak melenceng dari arus besar. The New Yorker bagaimana pun banyak dibaca oleh orang mapan yang ingin liputan Perang Vietnam dibuat dengan berimbang. Ada juga isu gaji wartawan yang kurang memadai. Usul perubahan manajemen sering berbenturan dengan Shawn, sedemikian rupa, sehingga pemilik saham The New Yorker, merasa frustasi, dan akhirnya menerima tawaran pembelian saham mereka oleh Samuel I. Newhouse Jr.

Newhouse adalah pemilik konglomerat media bernama Conde Nast, salah satu kelompok bisnis media terbesar di Amerika, dengan pendapatan tahunan rata-rata US$4 milyar pada 1980-an. Walau besar, citra Conde Nast kurang baik karena produknya, macam majalah Vanity Fair, Vogue, Glamour, Mademoiselle, GQ, dianggap pasaran.

Newhouse berambisi bukan saja jadi orang nomor satu kerajaan media yang kaya, tapi juga media paling bergengsi di Amerika. Newhouse membujuk keluarga Fleischmann, untuk menjual saham mereka, sehingga Newhouse jadi pemilik saham mayoritas The New Yorker. Harga yang dibayarnya 40 persen lebih mahal dari harga pasar. Newhouse membayar total US$168 juta buat membeli The New Yorker.

Newhouse janji tak campur tangan urusan redaksi, minta Shawn mencari pengganti dari dalam The New Yorker. Tapi tiga tahun berselang, proses itu tetap tak jelas, dan ketika sudah jelas, Newhouse tak suka dengan calon pilihan Shawn. Dalam keadaan berlarut-larut, Newhouse memecat William Shawn, dan menggantinya dengan Robert Gottlieb, editor penerbit buku Alfred A. Knopf, salah satu anak perusahaan Newhouse.

Para wartawan The New Yorker protes. Tapi kedatangan Gottlieb ternyata tak jelek. Gottlieb mampu mendinginkan protes tersebut walau beberapa wartawan, termasuk Lillian Ross dan Renata Adler, memutuskan mundur dari The New Yorker.

Gottlieb mempertahankan standar mutu The New Yorker. Dalam satu dua hal, Gottlieb yang suka seni dan teater itu, dan membaca The New Yorker sejak masa kanak-kanaknya, justru memperbaiki liputan The New Yorker. Gottlieb merekrut banyak koresponden luar negeri bernama harum, antara lain Raymond Bonner dan David Remnick, masing-masing spesialis Amerika Latin dan Rusia, untuk menjaga mutu liputan luar negeri The New Yorker. Pada 1988 Gottlieb mengirim Bonner ke Indonesia dan menulis laporan panjang tentang keluarga Presiden Soeharto dan bisnis-bisnisnya.

Tapi usaha Gottlieb kurang berhasil mencegah kerugian The New Yorker. Sirkulasi praktis tak berubah, pendapatan iklan kurang memadai, pada 1993 The New Yorker rugi US$30 juta, sehingga Newhouse memecat Gottlieb, menggantinya dengan Tina Brown, seorang wartawati kelahiran Inggris, yang dianggap berhasil memajukan majalah Vanity Fair, majalah kebanggaan Conde Nast.

Pergantian ini menimbulkan reaksi keras. Orang sangsi apakah Brown mengerti makna The New Yorker buat Amerika? Apalagi Brown mendisain ulang The New Yorker. Brown menambah halaman para kontributor, lengkap dengan foto mereka, ia juga menambahkan foto ke dalam halaman-halaman dalam The New Yorker, berwarna dan hitam-putih, ia juga menciptakan halaman surat pembaca, membuat kalimat eye catching di bawah judul serta memindahkan byline di awal karangan.

Ross, Shawn maupun Gottlieb selalu meletakkan nama pengarang di akhir karangan, dengan alasan, mereka tak mau menjual nama penulis. Biarlah pembaca menikmati suatu karangan, tanpa diiming-imingi siapa penulisnya. Mereka menganggap foto, bila ada untuk melengkapi suatu cerita, cenderung hanya menjadi kelengkapan saja. Mereka suka bila laporan mereka, kuat hanya pada narasinya, tanpa perlu dibantu foto. The New Yorker melengkapi majalah mereka hanya dengan ilustrasi dan kartun.

Perbedaan lain, Brown tak segan-segan memunculkan hal-hal yang provokatif. Ia menerbitkan sebuah artikel tentang dildo -penis buatan dari plastik, alat bantu masturbasi perempuan. Satu saat Brown juga menampilkan maskot The New Yorker sebagai pemuda punk dengan kulit yang pucat. Brown juga cinta publisitas. Ia suka popularitas, menyukai wawancara dan membiarkan dirinya diiklankan bersama The New Yorker.

Bila Shawn menyukai "timelessness" -di mana The New Yorker terbit tanpa memperhatikan unsur waktu-Brown justru menyukai "timeliness" di mana kalau perlu dalam satu minggu, disain majalah diganti dua atau tiga kali untuk mengejar berita yang sedang hangat. Shawn menyukai kedalaman, Brown menyukai kecepatan.

Renata Adler dalam buku "Gone: The Last Days of The New Yorker" berpendapat majalah di mana Adler membangun karirnya itu, riwayatnya tamat bersama pengalihan kepemilikan The New Yorker dari keluarga Fleischmann ke keluarga Newhouse.

"Orang Conde Nast mengira mereka tahu bisnis dan tahu seni," kata Adler. Penerbitan Conde Nast, macam majalah Vanity Fair, memang sukses, tebal, mengkilap, penuh iklan, foto perempuan setengah telanjang, gosip selebritas, mode pakaian, gaya hidup dan sejenisnya, tapi Vanity Fair bukan tandingan The New Yorker.

Vanity Fair memang memuat laporan panjang, tapi Vanity Fair tak pernah melewati kemampuan The New Yorker dalam memuat laporan yang bukan saja panjang, tapi cerdas, dan mengejutkan macam "Hiroshima" atau "Silent Spring."

Ketika Newhouse membeli The New Yorker, ia memperkenalkan teknik penjualan dan promosi yang agresif. Orang Conde Nast giat mempromosikan The New Yorker, mereka menawarkan rabat langganan, mereka menaikkan sirkulasi, memasang iklan horizontal, memuat advertorial dan sebagainya. Brown dianggap sebagai editor yang justru "lebih dekat" dengan orang pemasaran daripada dengan wartawan-wartawannya.

Padahal The New Yorker adalah majalah dengan tradisi menjaga pagar api antara editorial dan iklan. Iklan tak salah. Tapi iklan harus dibedakan dengan berita. Ibarat pemisahan negara dan agama. Bila campur aduk, komersialisme bisa merusak jurnalisme. Bisnis media adalah bisnis kepercayaan. Dampak ambrolnya pagar api, pembaca kurang percaya dengan berita yang dibacanya. Kekaburan ini terlihat jelas dari apa yang disebut sebagai "advertorial" -singkatan dari "advertisement" (iklan) dan "editorial."

Bagi Adler, advertorial bukan kompromi kecil. Advertorial sengaja dibuat untuk mengundang mata pembaca untuk membacanya, yang dibuat dengan disain dan jenis huruf, sedemikian rupa, sehingga pembaca mengira artikel itu bagian dari berita. Padahal advertorial adalah iklan.

Kekuatan The New Yorker, di bawah kepemimpinan Harold Ross dan William Shawn, adalah kemampuannya untuk hanya diatur, ditentukan oleh rasa ingin tahu dan semangat dari para redaktur, penulis dan artis The New Yorker, tanpa kuatir dengan apa yang disukai pembaca, apalagi biro iklan dan pemasang iklan.

Tina Brown tak setia pada prinsip pagar api. Ben Yagoda dalam "About Town" menyebut Brown mencampur aduk konsep The New Yorker dengan hal lain yang tak jelas. Ironisnya, dengan segala pergantian itu, Brown juga tak berhasil menaikkan sirkulasi The New Yorker secara mendasar. Pendapatan datar-datar saja. Newhouse rugi terus karena The New Yorker.

Antara 1985 dan 1997, Conde Nast menanggung kerugian US$150 juta buat The New Yorker. Angka yang relatif kecil buat Conde Nast dengan rata-rata keuntungan US$4 milyar setiap tahun. Yagoda belum bisa menyimpulkan mengapa The New Yorker senantiasa rugi. Mungkinkah karena pasar yang berubah? Orang makin tak butuh bacaan panjang? Mungkinkah karena persaingan dengan majalah lain? Atau televisi yang menggaet prosentase iklan terbesar di antara semua media?

Pada 1998 secara mengejutkan Tina Brown mengundurkan diri. Alasan resminya, ia hendak mendirikan majalah lain. Tapi alasan itu sulit dimengerti. Mungkinkah Brown capek dikritik kiri-kanan? Mungkinkah ia lelah dengan kesendiriannya? Mungkin ia merasa tak dimengerti? Penggantinya adalah David Remnick, koresponden The New Yorker di Rusia, yang dulu direkrut Gottlieb.

Proses pergantian berjalan mulus, mungkin karena Remnick termasuk orang dalam, pernah memenangkan hadiah Pulitzer. Pekerjaan utama Remnick adalah memoles ulang pekerjaan Brown, termasuk menghapus foto seronok, foto kontributor, dan merapikan majalah itu lagi. Perwajahan The New Yorker jadi lebih dingin ketika Remnick mengambil alih kemudi The New Yorker. Walau Remnick merekrut beberapa wartawan papan atas, termasuk Seymour Hersh, mantan wartawan New York Times, yang spesialis investigasi, mungkin terlalu awal buat Yagoda dan pengamat lain, untuk menilai prestasi Remnick. Hersh adalah wartawan Amerika yang membongkar pembunuhan penduduk dusun My Lai diVietnam oleh prajurit Amerika pada 1968.

Jelas, Newhouse ingin The New Yorker, tetap jadi salah satu majalah terkemuka Amerika. Newhouse ingin majalah itu jadi kebanggaan Conde Nast. Persoalannya, sampai kapan Newhouse bisa bertahan? Seberapa cepat Remnick mampu menaikkan mutu The New Yorker di tengah persaingan yang makin ketat ini?

***

DUABELAS tahun setelah membaca The New Yorker secara sembunyi-sembunyi di Salatiga, pada satu hari yang dingin, ketika salju mulai mencair, di sebuah ruang diskusi Kennedy School of Government, Universitas Harvard, Cambridge, saya hadir dalam diskusi soal suka-duka investigasi dalam jurnalisme.

Pembicaranya Raymond Bonner, wartawan The New Yorker yang bikin laporan Indonesia, pada 1988.

Ada sekitar 30 orang dalam ruangan itu. Ada beberapa wajah Asia. Kebanyakan orang kulit putih. Hanya beberapa menit, Bonner masuk dan mengambil duduk.

"Lho, orangnya kok kecil?" pikir saya.

Dalam sampul buku karangan Bonner "Waltzing with a Dictator," foto Bonner menggambarkan wajah laki-laki berwajah keras, rambutnya agak panjang, belah pinggir, agak berantakan, rahang kuat, segi empat dan bibir berkerut. Saya bayangkan orangnya pasti tinggi besar.

Bonner di ruang seminar itu ternyata kecil, untuk ukuran Amerika, mungkin hanya 170 cm, bicaranya cepat, ramah, suka tertawa, menggerak-gerakkan tangan, kelihatan selalu berusaha meyakinkan orang -mengingatkan saya pada makelar emas partikelir yang bekerja sepanjang jalan dekat toko ayah saya di Jember.

Saat itu musim semi 2000. Seusai diskusi, saya memperkenalkan diri. Bonner kelihatan senang mengetahui di sudut Amerika ini ada wartawan dari Indonesia, duduk dan mendengarkan paparannya.

Saya ingat, ia bertanya, "Apa pendapat Anda tentang Gus Dur? Dia orang baik bukan?"

Pada liputannya 1988, Bonner mewawancarai Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang diperkenalkannya sebagai satu dari dua cendekiawan paling terkemuka di Indonesia. Satunya lagi Nurcholish Madjid.

Bonner kelihatan tertarik bicara soal ulama yang sempat diwawancarainya, yang kemudian menjadi presiden Indonesia keempat. Mungkin Bonner tak membayangkan Gus Dur bisa jadi presiden.

"Saya punya beberapa kenalan di Indonesia. Satu di antaranya adalah wartawan. Aduh siapa namanya ya?" ujar Bonner.

"Mungkin ..." jawab saya.

"Jangan, jangan, dijawab, saya ingat, saya ingat, saya juga ketemu istrinya yang juga editor. Ini wartawan terkenal ... namanya, namanya, ... Mohamad," kata Bonner tersenyum puas.

"Goenawan Mohamad," kata saya.

Sehari kemudian, kami ikut jamuan makan malam yang diadakan oleh Nieman Foundation di Faculty Club milik Universitas Harvard. Istri Bonner, Jane Perlez, koresponden New York Times, memberikan keynote speech tentang suka-duka liputan luar negeri.

Ketika ada kesempatan berdua, saya ceritakan pada Bonner bagaimana artikel "New Order" dari The New Yorker itu saya dapatkan di Salatiga. Artikel itu dibendel rapi, tersebar merata di kelompok-kelompok diskusi mahasiswa, yang lagi menjamur, di Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Jakarta dan mungkin kota-kota lain.

"Artikel itu diterjemahkan ke bahasa Indonesia," kata saya seraya menambahkan laporannya ikut mengompori gerakan mahasiswa di Indonesia.

Bonner sedikit kaget dengan adanya terjemahan itu. Dia bilang dia senang dan tertarik untuk mendapatkan satu fotokopi. Saya kira, banyak mahasiswa lebih mengerti politik Jakarta, dengan memandang cermin yang dibuat dari New York itu.

Malam itu, ketika berjalan kaki pulang, saya berpikir "New Order" mungkin tak mengubah dunia sebanyak "Hiroshima" karya John Hersey atau "Silent Spring" karya Rachel Carson. Bonner tak menulis soal bom nuklir atau bahaya pestisida. Bonner menulis soal seorang kepala negara, nun jauh di seberang lautan, yang sedang ada di puncak kejayaannya, ketika anak-anak kepala negara itu mulai merambah dunia bisnis, merampok negaranya sendiri, ketika masalah Timor Timur kelihatannya mulai sukses di tangan Indonesia.

Sejarah ternyata terbalik. Tiga tahun sesudah laporan itu ditulis, tentara-tentara Indonesia yang tak berdisiplin, membantai orang-orang Timor Timur di kota Dili. Ada wartawan asing merekamnya dalam video. Kebengisan dan kekejaman itu menyebar ke seluruh dunia. Menteri Luar Negeri Ali Alatas menganggap peristiwa Dili pada November 1991 itu sebagai titik balik diplomasi internasional Indonesia.

Tapi sang raja tetap percaya diri. Sidang MPR tetap dibuatnya sebagai stempel saja. Sepuluh tahun setelah laporan itu, Presiden Soeharto kembali merekayasa sidang MPR agar dipilih lagi. Padahal badai krisis ekonomi menerjang deras. Ekonomi Indonesia gemetar. Rupiah ketakutan. Kali ini tak ada Sudharmono, tidak ada Benny Moerdani. Wakil presiden yang ditunjuknya B.J. Habibie, seorang insinyur cerdas yang lucu, yang belasan tahun membantunya.

Soeharto hanya bertahan dua bulan. Pada Mei 1998 ia turun tahta dengan kesedihan dan malu. The New Yorker, sedikit banyak, ikut merintis tumbangnya diktator ini.

*Diterbitkan dalam Majalah Pantau edisi Maret 2001

Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan

Dua bulan hidup bersama dengan serdadu-serdadu Indonesia yang bertugas di Aceh.

Oleh ALFIAN HAMZAH


MEREKA memulai perjalanannya dari pelabuhan Armada Laut Timur Ujung di Surabaya. Sekitar 700-an serdadu dari Batalion Infanteri 521/Dadaha Yodha menyemut di bibir dermaga, menunggu giliran naik ke kapal Teluk Bayur. Mereka akan berlayar ke Aceh, medan perang yang jaraknya 3.000 kilometer, dari asrama mereka di Kediri. Di dermaga, seorang gadis berambut kepang mencari-cari sesosok wajah. Saat kapal beringsut meninggalkan Surabaya, pipinya basah dengan air mata.

Suasana di atas kapal mirip pasar tumpah. Orang lalu lalang tapi ruang terbatas. Prajurit hanya diizinkan menggunakan geladak berjemur di anjungan. Ada terpal besar yang menutup seantero geladak. Para serdadu ini sukar tidur nyenyak. Matras tak dapat diandalkan melawan permukaan dek yang keras. Ruangan sempit. Tidur berdesak-desakan. Punggung yang semestinya rebah di matras terganjal ransel. Hanya kaki yang bisa diluruskan.

Bila mentari tepat di atas ubun-ubun, geladak itu berubah jadi oven berjalan di lautan. Sebagian serdadu memilih bertelanjang dada dan hanya mengenakan celana pendek. Mereka juga mengeluh susahnya air bersih. Banyak serdadu tak mandi berhari-hari. Setiap pagi dan sore, orang kapal hanya mau mengalirkan air ke kamar mandi selama 10 menit. Prajurit berpostur tubuh kecil tak bisa mendekat ke kamar mandi itu. Hanya mereka yang berbadan besar bisa main sikut dan mandi.

Mereka juga tak dapat mengandalkan pembagian air minum yang jumlahnya kurang untuk membasahi seluruh kerongkongan. Saat-saat kritis, mereka merogoh air mineral di ransel. Air itu mereka dibeli sebelum berlayar. Di atas kapal, jika ingin minum kopi, seorang serdadu harus merogoh Rp 1.000 per cangkir. Semangkuk mie rebus harganya Rp 1.500. Air minum dalam kemasan Rp 3.000 per botol. Makin bertambah hari di atas laut, harganya merangkak naik, hingga Rp 4.000.

Mereka mengisi waktu luang dengan bercengkerama atau bermain kartu. Sesekali mereka menyumpahi nenek moyangnya saat melihat kapal perang mereka disalip kapal barang di laut lepas. Kedongkolan itu bertahan sehari, dua hari, lima hari, sepekan … hingga kapal Teluk Bayur merapat di Pelabuhan Malahayati, Banda Aceh, 18 Juni 2002. Untuk pelayaran yang biasa ditempuh tiga hari dengan kapal komersial, para serdadu Kediri ini perlu delapan hari.

Sehari sebelum merapat di Banda Aceh, Teluk Bayur membongkar sebagian muatannya di Lhokseumawe. Pertimbangannya, perairan Malahayati relatif dangkal. Sukar merapat jika muatan kapal penuh. Di Lhokseumawe, empat truk Mercedes Benz, satu ambulans dan satu jip komandan batalion diturunkan dan segera bergerak ke Banda Aceh, menyusul rekan mereka yang akan tiba di sana keesokan harinya.

Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim ditunjuk sebagai pemandu jalan.

“Kami berangkat,” kata Rokhim, “(Dikawal) tim khusus satu peleton. Tiga puluh orang. Senjata lengkap. Saya bilang ke anak-anak, di sini sudah masuk Aceh, jangan kaya’ tugas di Ambon, Timor-Timur. Tidak ada apa-apanya. Di Aceh, sejengkal tanah tidak ada yang aman.”

“Keluar dari Lhokseumawe, kita menuju ke Bireun. Bireun ‘kan rawan? Perjalanan Lhokseumawe ke Bireun aman. Lepas Bireun ke Peudada. Saya kasih tahu ini titik rawan. Medan terbuka. Waspada!”

“Masuk ke Bandar Dua. Saya kasih tahu juga.”

“Uleglee, hati-hati!”

“Habis Trienggading masuk Luengputu. Nah di situ kelapa-kelapa kan banyak! Saya kasih tahu: Awasi ketinggian! Mobil jalan terus. Sampai Luengputu dua mobil yang mengawal sejak dari Lhokseumawe pulang. Alasannya sudah dekat kota. Sigli 100 persen aman. Saya tetap nggak yakin. Tidak ada di sini aman. Saya juga (pernah) di sini. Lama. Saya bilang ke kawan-kawan: hati-hati di depan, samping kanan-kiri.”

Sebelum bertolak ke Sigli, konvoi berhenti di kantor Komando Rayon Militer (Koramil) Geulumpang Minyeuk, Kecamatan Geulumpang Tiga, Kabupaten Pidie. Letnan Dua Ruben Rihi turun menanyakan kondisi perjalanan ke Sigli. “Saya jamin sini ke Kodim Pidie,” kata orang Koramil. Ruben Rihi lega. Konvoi kembali bergerak. Ruben ikut truk Rokhim, jalan paling depan. Sekitar 200 meter lepas Koramil, laju kendaraan yang semuanya telah dilapisi baja tiga milimeter itu terganggu. Ada segerombolan sapi melintas.

Perasaan Rokhim mendadak tak enak. Tapi dia tak ingin menurutinya. Medan di seputarnya berbicara lain: bukan medan kritis. Tak ada ketinggian. Di kiri jalan, ada pertigaan yang menghubungkan jalan besar dengan sekolah di sana. Dia melihat serombongan murid bergerak ke arah simpang itu. Tak jauh dari sekolah ada rimbunan pohon kelapa, sagu, dan nipah.

Sapi telah lewat. Jalan telah bersih. Konvoi kembali bergerak. Truk paling belakang telah melewati simpang tiga itu. Lewat jendela, Rokhim melihat ada mobil penumpang dan sepeda motor bergerak dari arah berlawanan. Ada pompa bensin tak jauh di depan sana. Ramai orang di situ.

Konvoi telah bergerak sekitar 500 meter meninggalkan Koramil.

Tiba-tiba … rrrreetttttttttttt-ret-rettttttttt … tang-tang-tang.

Ada AK-47 yang menyalak dari rimbunan kelapa tadi. Sekitar dua menit lamanya, menyasar bak truk paling depan. Baja pelindung tangki angin mobil Rokhim jebol. “Tang-tang-tang … tang-tang-tang.”

Di bak belakang, Ruben Rihi dan beberapa serdadu pengawal terperanjat. Belum sehari mereka di Aceh sudah disiram tembakan. Seisi bak sontak menyembunyikan kepala. “Peluru sejengkal di atas kepala,” kata Ruben.

Sersan Satu Handoko ada di jip komandan. Dia berjuang mengatasi kekagetannya. Untung, peluru sudah di kamarnya. Buru-buru dia membuka kunci. Senjata otomatis Minimi buatan Belgia di tangannya menyalak. Sayang, sentakan gas mobil membuat tembakannya tak terarah. Dia terpelanting. Jatuh.

“Kami,” kata Rokhim, “Mau turun (tapi) ngeri juga karena medan terbuka. Melarikan diri itu jalan satu-satunya.”

Konvoi meninggalkan tempat penghadangan selekas mungkin. Tak ada yang celaka siang itu. Tapi ketegangan di wajah mereka baru cair sejam kemudian. “Goreng jagung” di siang bolong itu, demikian beberapa prajurit menyebut dentingan proyektil menghantam plat baja mobil, membekas di benak banyak prajurit Indonesia yang ditugaskan di Aceh. “Sejak itu saya ndak percaya lagi sama orang Aceh. Ini menyangkut nyawa. Kalau ada (orang) Koramil waktu itu, sudah saya hantam. Orang Aceh itu (memang) tidak bisa dipercaya,” kata Letnan Dua Ruben Rihi.



I

SAYA menemui pasukan Kediri dari Komando Daerah Militer V Brawijaya itu awal September silam –sekitar tiga bulan sesudah mereka mendarat di Malahayati-- setelah mendapatkan izin dari Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan Aceh Mayor Jenderal Djali Yusuf. Saya ingin tahu bagaimana serdadu-serdadu Indonesia bekerja di provinsi yang bergolak sejak 1970-an ini. Djali Yusuf setuju dan menunjuk Batalion Infanteri 521/Dadaha Yodha. Batalion ini kebagian peran sebagai pasukan teritorial yang tugas utamanya mengamankan wilayah Aceh Barat, dari Lambaro hingga Beutong, yang dari ujung ke ujung jaraknya ada 150 kilometer.

Ada sejumlah hal yang harus saya patuhi bila ingin tinggal dengan pasukan. Saya, misalnya, dilarang meninggalkan pos sekali pun untuk membeli rokok tanpa dikawal seorang prajurit. Kalau jaraknya lebih 200 meter dari pos, yang kawal sedikitnya mesti tiga orang.

Hari pertama, saya banyak mendengar peringatan seperti ini:

“Mas ini orang sipil. Tapi akan sering dilihat orang jalan sama tentara. Bahaya. Di luar sana, mungkin ada cuak (mata-mata) GAM.”

“Peluru di sini tak ada matanya, lho.”

“Kamu harus hati-hati karena kalau ada apa-apa, semoga tidak yah, siapa yang akan tanggung jawab ke Pangkoops (Djali Yusuf).”

Para serdadu itu, ternyata seperti saya, dilarang meninggalkan pos tanpa membawa teman. Mereka hanya bebas bergerak radius 100 meter dari pos. Begitu keluar pos, serdadu membawa senapan sudah terkokang. Serdadu yang kekhawatirannya lebih tinggi kadang sudah membuka kunci senapannya.

Jika hendak berbelanja kebutuhan dapur ke pasar, orang pos selalu berangkat dengan jumlah besar, minimal lima orang. Bila sudah di pasar, dua orang berbelanja dan sisanya melakukan pengamanan.

Kondisi itu berbeda dengan keadaan sewaktu mereka tugas di Timor-Timur, Maluku, atau Papua. Sewaktu di Timor Timur, kata seorang kopral kepala, mereka berani lenggang kangkung sendiri ke pasar.

Aceh memang bukan sembarang daerah. Di sini, kelengahan taruhannya nyawa. Sebuah pasukan Lintas Udara dari Makassar, misalnya, kehilangan 11 orang anggotanya hanya dalam tempo 10 bulan. Enam di antaranya meninggal, setelah kontak senjata dengan gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), karena terlambat dievakuasi sehingga pendarahannya hebat. Sisanya meninggal karena faktor non-pertempuran: seorang meninggal dalam kecelakaan bermotor, dua orang tenggelam di laut, seorang mati salah ditembak pasukan Indonesia lainnya, dan seorang lagi kena tembak komandan sendiri di sebuah hotel karena dianggap melakukan insubordinasi.

“Di sini perangnya perang gerilya. Siapa yang lengah dia yang kalah,” kata komandan Batalion 521/Dadaha Yodha Letnan Kolonel Ucu Subagja.

Dan saya belum pernah menjumpai tentara yang kewaspadaannya seperti Prajurit Kepala Muhamad Khusnur Rokhim. Dari jarak 10 meter, dengan melihat potongan rambutnya saja, orang sudah bisa menebak kalau dia tentara. Ada banyak bekas luka di wajahnya yang hitam. Perawakannya sedang, bahkan kurus untuk ukuran tentara. Tingginya sekitar 170 cm. Wajahnya tirus dengan rahang menonjol. “Ini,” katanya menunjuk rahang kanannya, “Sering bengkak kena popor pas latihan membidik sasaran.”

Kemana saja Rokhim pergi, matanya selalu awas. Apa saja yang nampak jadi bahan perhatian. Kalau ada orang yang gerak-geriknya aneh, dia tak segan-segan memelototinya sampai yakin kalau orang itu tak akan membahayakan keselamatannya.

Di Meulaboh, sekitar 150 kilometer selatan Banda Aceh, saya sering mengajaknya minum kopi di kedai, yang jaraknya kurang semenit jalan kaki dari pos. Begitu masuk, perhatian Rokhim langsung tertuju ke seisi kedai. Dia selalu memilih tempat di pojok –dia ingin punggungnya aman dan leluasa memperhatikan semua orang yang keluar masuk. Kemudian memeriksa bagian belakang kedai, mengecek jalan pelolosan kalau ada gangguan dari depan dan sekaligus mencari tahu kemungkinan ada yang masuk ke kedai lewat belakang tanpa sepengetahuannya.

Dia juga selalu memperhatikan wajah pemilik kedai. Kadang dia mendekat, memperhatikan si empunya kedai meracik kopi, seperti ingin memastikan kalau kopi itu tak ada racunnya.

Awalnya, tingkah Rokhim itu membuat saya geli. Tapi dia selalu punya jawaban setiap kali saya menertawakan kekhawatirannya. Pertama, dia tak ingin setor nyawa di Aceh. Dia punya seorang istri dan anak di Kediri. Kedua, dia membawa senjata yang harus dijaga. “Kalau ini jatuh ke tangan musuh, bisa lebih banyak tentara yang mati.”

Rokhim membawa SS-1 --senapan serbu buatan Indonesia. Senjata itu istri keduanya. Kemana pergi selalu dibawa. Bahkan saat tidur pun, dia ada dalam pelukan Rokhim. Saya jarang melihat dia melipat popor senapannya. Teorinya, popor yang terlipat membuat prajurit sukar menembak tepat. Menembak dengan popor terlipat hanya akan menghasilkan berondongan. Resikonya, yang bukan sasaran bisa berdarah dan amunisi dijamin mubasir.

Rokhim selalu memanjangkan tali sandang senjatanya. Dia yakin, itu akan memudahkan dirinya merapatkan popor ke bahu dan segera membidik. Itu belum semua. Tangannya selalu lengket di pistol grip sementara telunjuk tegang dipicu. Dia masih terbawa-bawa hukuman pelatihnya dulu yang mengikat tangan serdadu yang tak menempel di picu.

Di kalangan sejawatnya, Rokhim dikenal sebagai “raja” Taman Wisata Pagora, Kediri. Dia kadang melancarkan jalan serdadu yang kepengen berfoto dengan artis yang manggung di taman hiburan itu. Dia mengenal hampir semua orang yang kerja di situ. Istrinya, Yuni Wijayanti, bekerja sebagai penjaga loket di sana.

Rokhim suka musik dangdut. “Setiap tanggal muda artis datang. Cici Paramida sering. Yang paling mahal bayarannya itu yah, Fetti Vera … Sama kita itu biasa, lho. Mau foto-fotoan … Inez Sintia (Andreas: tolong cek apa bukan Cynthia?) yang ketus orangnya. Nggak mau diajak ngobrol-ngobrol. Susah.”

Rokhim termasuk serdadu yang mudah diajak berteman. Jika sudah percaya, apa saja akan dilakukan untuk kenalannya. Sekali waktu, saya panik karena bloknote saya hilang sementara truk yang saya tumpangi akan berangkat. Tanpa diminta Rokhim turun mencari catatan itu. Komandan batalion dan dua truk serdadu terheran-heran melihat Rokhim mengubek-ubek semak-semak di sana. Sekiranya saya tak segera menemukan bloknote yang terselip di tas, saya kira dia tak akan naik ke truk.

Dia juga pernah merogoh kocek sendiri karena prihatin melihat saya kehabisan uang. Dia, seperti orang-orang pos lainnya, selalu memperhatikan keperluan saya. Pernah sekali dia menyindir saya karena urusan makan. “Situ kok nggak makan? Makanlah, tidak enak kalau teman-teman tersinggung. Mereka sudah masak, lho … Apa situ harus seperti raja. Makanannya diantarkan tiap saat?!”

Urusan makan, Rokhim terbilang unik. Ada banyak makanan yang tak bisa lewat di tenggorokannya. Dia, misalnya, tak suka daging sapi, daging ayam (kecuali ayam kampung), ikan laut, telur, sayur-sayuran, dan masih banyak lagi. Menu favoritnya: nasi panas, tahu, tempe plus juice alpukat pakai susu-kental-manis-coklat.

Di asrama dulu, istrinya rutin menyajikan sarapan termasuk membuatkan susu saban pagi. Yuni Wijayanti risih melihat berat badan suaminya tak naik-naik sementara prajurit lain berbadan subur. Tapi Rokhim tetap dengan seleranya. Jarang-jarang dia menyentuh sarapan yang dibuat istrinya.

Suatu malam, saat merebus mie di pos, Rokhim berikrar melahap apa saja yang disajikan istrinya jika bisa pulang selamat dari Aceh. Dia merasa gaya makannya selama ini tak menunjukkan kecintaannya pada istri.

Dia juga sudah mencanangkan program “menggencar” Yuni dengan surat. Setiap tiga hari sekali, katanya, dia mau menulis surat. Khusus untuk anaknya, dia selalu mengingatnya dengan menuliskan namanya di kasur-lipat: Muhamad Ikhsan Bagaskara.

Ada yang bilang, 90 persen penyakitnya tentara kita adalah suka mabok. Rokhim masuk golongan 10 persen. Dia bahkan tak merokok sejak seorang komandannya di Timor Timur pada 1997 menghukumnya jungkir sampai muntah. Sembahyang dan mengajinya tak putus. Saat sholat berjamaah, dia yang selalu melantunkan adzan. Saban Jumat, dia rutin merapal Yasin dan Tahlil.

Kadang, tanpa diduga, dia bertanya tentang hal-hal yang membuat saya tak habis pikir. “Menurut situ apa kebebasan pers itu harus dibatasi?” Pertanyaan itu menunjuk aneka jenis tabloid esek-esek yang banyak beredar di Aceh —gambar-gambar syurrrnya jadi hiasan dinding hampir semua pos.

Atau kali lain dia bertanya begini, “Jujur yah, Indonesia ini bagusnya kesatuan atau federal?”

“Mas, Munir itu ibunya PKI, yah?”

“Cut Keke itu apanya Abdullah Syafi’ie?”

Munir seorang aktivis hak asasi manusia terkemuka di Jakarta. Cut Keke artis cantik asal Banda Aceh, yang menempuh karir di Jakarta dan pernah menemui Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi’ie –pertemuan yang banyak diberitakan media—sebelum Syafi’ie meninggal ditembak pasukan Indonesia pada 22 Januari 2002.

Rokhim termasuk serdadu yang dari kecilnya memang bercita-cita jadi tentara. Dia lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 29 tahun silam. Berbekal ijazah SMA dia masuk dinas militer dengan pangkat prajurit dua, sembilan tahun lalu.

Di batalion, kekuatan fisiknya masyhur. Dia dikenal jago lari dan renang. “Kalau ada junior saya yang malas-malas lari pasti saya tendang.” Dia senewen karena dulu pernah diperintahkan lari berkilo-kilo meski butiran-butiran batu menempel di tumitnya yang lecet.

Tapi sekarang Rokhim tak lagi bersemangat ikut lomba olah raga tempur. Kekecewaannya muncul setelah dia dua kali gagal tes Sekolah Calon Bintara. Padahal, katanya, pernah ada perwira yang menjanjikan serdadu yang berprestasi akan direkomendasikan untuk ikut tes dan dibantu kelulusannya. Banyak serdadu yang mumpuni secara fisik dan mental, gondok setelah tahu kalau beberapa tentara yang kerjanya “hanya makan dan minum di batalion” bisa lulus tes.

Nasib juga yang mempertemukan saya dengan Rokhim. Dia tahu saya hanya bermodal dengkul ikut dengan pasukan. Dia meminjami saya beberapa baju lengan panjang dan kaos tangan untuk jalan malam di hutan. Dia rela digigit nyamuk dan menyerahkan shebo-nya (penutup kepala) untuk saya pakai. Dia juga memberikan isi kotak obatnya; obat sakit perut, cairan anti nyamuk, pembalut luka, Betadine, dan lain-lain. Dia bahkan menyerahkan karet pengikat ujung celananya dan membiarkan betisnya jadi sasaran empuk lintah.

Dari Rokhim juga saya mendapat kursus singkat tentang gerakan militer. Pelajaran pertama teknik melompat dari truk. Ini penting karena banyak tentara berdarah-darah karena menyepelekan teori. Lompatan salah bisa bikin patah gigi, memar siku, atau luka lutut.

“Saat menjejak tanah jangan tumit duluan. Syaraf bisa rusak. Kaki harus dalam posisi menjinjit dengan badan condong ke depan. Setelahnya, langsung lari cari perlindungan.”

“Kalau ada tembakan, jangan panik. Tanam kepala. Cari perlindungan secepatnya di batu, pohon atau apa saja yang kira-kira kuat. Jangan berlindung di pohon karet atau kelapa. Itu tembus peluru AK.”

“Kalau ada nyamuk atau lintah tahan saja. Nanti pas berhenti baru lepas lintahnya. Tapi jangan terburu-buru. Cari tembakau, perciki air sedikit dan teteskan ke tempat melengketnya. Nanti lintahnya jatuh sendiri. Kalau dipaksa dikeluarkan, sementara giginya masih menancap, akan gatal sekali.”

“Jangan banyak mengeluh. Tidak baik karena menghambat gerak pasukan.”

“Kalau jalan malam, jangan berisik. Harus senyap. Kaki jangan diseret-seret. Setiap melangkah, tumit duluan yang menjejak tanah. Baru kemudian bagian telapak kaki lainnya.”

“Jangan jalan paling belakang. Usahakan di dekat yang bawa senapan otomatis atau radio. Kalau ada tembakan, yang bawa SO (senapan otomatis) tugasnya mengikat tembakan. Dia akan diam di tempat dan tidak ikut lari bersama pasukan yang melambung. Mas nggak tahu medan, jadi mending tidak usah ikut. Kalau ketinggalan bagaimana?”

“Sebaiknya pakai laras. Nanti saya pinjami. Sepatu yang Mas pakai itu bisa hilang kalau kita masuk rawa.”

“Boleh merokok kalau sudah siang.”

“Kalau jalan jauh, jangan banyak minum. Kaki pasti berat melangkah. Di betis ini seperti digandoli air. Minum banyak nanti kalau pasukan berhenti lama. Kalau haus dan tidak ada air minum tahan saja. Kalau ditawari air, jangan ditenggak semua. Minumnya sedikit saja. Asal kerongkongan basah. Gelasnya pakai penutup veples. Praktis. Tidak usah takut sakit minum air tidak dimasak. Minum saja, nanti dimasak di perut.”

“Mas ini orang sipil. Kalau ada gerak pasukan di lapangan yang Mas tidak suka jangan diperlihatkan. Simpan dalam hati saja.”





SAYA tak bisa mengikuti nasehatnya agar saya selalu diam. Saya pernah merepet seharian setelah melihat orang Aceh bernama Ruslan tewas ditenggo (ditembak) akhir September silam. Hari itu kami datang terlambat. Mayat Ruslan sudah tertelungkup di atas kolam ikan nila di belakang sebuah rumah di desa Tanjung, sekitar seperempat jam dari Meulaboh.

Beberapa serdadu di situ bilang kejadiannya baru saja. Tapi mayat pria yang seluruh rambutnya memutih itu sudah kaku. Rahangnya sulit dirapatkan. Saya kira kejadiannya sudah lebih dari satu jam.

Satu regu serdadu yang ada di sana saat kejadian, sudah bergerombol di simpang jalan desa. Mereka sepertinya enggan berkotor-kotor mengurusi jenazah itu. Mereka cerita kalau Ruslan sudah dua kali mencoba melarikan diri. Saat mencoba peruntungannya yang ketiga, di hari yang sama, dia berubah jadi “laron merah” --istilah tentara kiriman Jakarta untuk orang GAM yang mati tertembak.

Seorang serdadu mencoba membalik mayat yang telah membengkak itu. Jelaslah kalau ada sebutir peluru yang bersarang di perut almarhum. Saya juga melihat ada sebutir lagi di paha dan dada.

Tapi apa salah Ruslan sampai ditembak? Menurut seorang prajurit dua, Ruslan memang “target operasi.” Ruslan dianggap bagian logistik GAM. Saat ditangkap di rumahnya dan hendak digiring ke pos tentara terdekat, Ruslan melarikan diri meski telah diberi tembakan peringatan.

Saya sulit mengecek klaim itu. Dua-tiga letusan senapan di siang bolong sudah cukup membuat warga desa meringkuk ketakutan di rumah masing-masing.

Yang saya heran tak ada bekas ikatan di pergelangan tangan Ruslan. Kenapa tak ada yang berinisiatif mengikatnya setelah percobaan melarikan diri pertama kali? Saya juga heran kenapa mereka tak berpikir taktis sehingga memilih menembak seseorang yang informasinya mungkin sangat berharga? Berapa jauh sih larinya kakek berumur 51 tahun di area persawahan sehingga serdadu-serdadu muda itu tak dapat mengejarnya? Saya menaksir dari tempat Ruslan melarikan diri hingga tertembak, dia hanya sanggup berlari sekitar 30 meter.

Okelah kalau memang harus ditembak, tapi kenapa bukan dilumpuhkan saja? Tembak di paha saja? Tidak adakah satu di antara belasan serdadu itu yang bisa menembak tepat sasaran dalam jarak 30 meter?

Saya tak sempat menggali lebih dalam. Hanya 10 menit saya di dekat jenazah Ruslan. Setelah itu, truk yang saya tumpangi pergi ke tempat lain.

Sebelum cabut, dengan menahan mual mencium amis darah, Rokhim berinisiatif menutup mata Ruslan yang membelalak itu dan mengangkat mayat Ruslan ke tanah kering. Seorang serdadu lainnya menutupi jenasah dengan atap rumbia.

Keesokan harinya, saya bertemu lagi dengan beberapa serdadu yang ada saat penembakan Ruslan. Saya ingin mengorek informasi lebih dalam. Tapi saya mengurungkan niat itu setelah seorang di antaranya ngeles, beralasan tak berada di tempat kejadian. Padahal dia yang jelas-jelas mengulurkan ke saya KTP Ruslan, penduduk Desa Palimbungan, Kecamatan Kaway XVI.

Saya protes ke Rokhim. Dia lebih banyak diam mendengarkan saya merepet.

“Semoga saja benar-benar GAM.”

Ucapan singkatnya itu mengingatkan saya pada salah satu poin dalam “Prinsip-Prinsip Dasar Menghancurkan Insurjensi” yang diterbitkan Komando Resort Militer Teuku Umar yang salinannya ditempel di setiap pos tentara. Bunyinya kira-kira begini: menghilangkan satu nyawa tak berdosa sama dengan menciptakan 1.000 musuh.

Rokhim mungkin tahu saya tak akan diam. Tapi hubungan kami tetap baik. Dari teman-temannya saya tahu kalau dia termasuk serdadu yang disegani kendati sehari-hari dia hanya bertugas sebagai supir cadangan. Jarang-jarang ada serdadu yang berani sesumbar jika ada Rokhim di situ.

Di atas truk, Rokhim jaya. Disuruh mengemudikan mobil apa saja dia bisa. Dari yang pakai per keong sampai yang bannya 10 biji. Dia juga pemegang rekor 10 kali selamat dari penghadangan GAM di atas truk.

Rokhim dua kali ikut pendidikan pasukan penyergap Rajawali, 1997 dan 1999. Kurun itu, dia ikut sebagai pasukan pemburu di Aceh dan Timor-Timur. Baru tahun 2002 dia ikut sebagai pasukan kerangka atau teritorial.

Pada 1997, Jakarta mengirim sekitar 1.500 orang Pasukan Rajawali ke Aceh Utara dan Pidie. Rokhim dapat Pidie. Dia masih ingat sebagian pengarahan komandan Kopassus waktu itu Mayor Jenderal Prabowo Subianto, menantu Presiden Soeharto, sebelum Rajawali diterbangkan ke Aceh.

“Gini pesannya,” kata Rokhim menirukan Prabowo, “Prajurit saya harus seperti Hanoman. Tidak boleh sombong. Berani … Kalau dapat satu pucuk M-16, saya bayar Rp 5 juta … Kalau SP (senjata kayu) Rp 1 juta. Kalau dapat gembongnya GPK … Rp 100 juta. … Saya akan datang ke tempat TKP. Saya tidak bisa datang, kirim kepalanya!”

“Bilang gitu. Aaaaapa nggak gila! Saya senang bener itu … Saya masih ingat …Wah, mantap bener,” kata Rokhim.

Di Pidie, Rokhim melihat banyak bangunan-bangunan sekolah dan kantor-kantor pemerintahan yang luluh lantah. Dia juga menyaksikan kecemasan warga Aceh saat melihat tentara kembali masuk ke pedalaman Aceh pasca pencabutan status Daerah Operasi Militer oleh Presiden BJ Habibie pada akhir 1998.

Sekitar sembilan bulan Rokhim di Pidie. Dan dia paling senang bercerita tentang pengalamannya mengubek-ubek hutan-hutan dan mengendap di pelosok.

“Apa khasnya pengendapan (Rajawali)?” tanya saya suatu waktu.

“Pake sandi. Hari ini pake ikat kepala hijau, umpamanya. Besok pagi, lengan baju kanan dinaikkan. Kadang baju di balik. Celana pun kadang dibalik.”

“Apa kalau ada (GAM) langsung sikat?”

“Yang bersenjata aja.”

“Apa diberhentiin dulu?”

“Ngapain? Bersenjata sikat langsung. Nggak ada berhenti. Itu pun nembaknya kalau sudah bener-bener bersenjata. Kalau nggak bersenjata ya nggak ditembak. Masyarakat berarti. Dulu itu buka tembakan di sini susah. Nggak boleh nembak-nembak. Kalau tidak bersenjata nggak boleh ditembak. Kalau ada yang bersenjata, kita tembak yang bersenjata. Yang nggak, ya nggak. Harus titik bidik titik kena. Tapi kalau orang sini kan kernetnya yang banyak. Satu pucuk kernetnya lima. Jadi satu ditembak satu ngambil lagi. Ya ditembak lagi… Hahahaha … sampai lima orang … kan repot. Maunya pimpinan ditembak satu. Saya sebenarnya kasihan kan. Tapi kalau dia ngambil tembak lagi. Ngambil tembak lagi.”

“Bagaimana pertama kali nembak?”

“Biasa. Saya yakin kalau pertama takut. Nggak kena. Ngawur. Kalau perasaan kena, ya kena itu. Nggak yakin berarti nggak kena. Tapi kalau udah dua kali tiga kali ya pasti kena. Harus tenang.”

Di Aceh Rokhim baru bisa menembak musuh dan pertama kali kena pada 5 November 1999. "Jam 7 pagi (kami) istirahat. Mau lanjutkan perjalanan dengar suara motor Honda GL Pro. Truuunggg ... Kita sembunyi. Dia tujuh orang, empat motor. Kita ada satu kompi. Waktu lewat wah ternyata GAM. Kita hajar. Pang-pang-pang. Kena semua.”

“Habis kontak ada dua orang masuk. Bawa semprotan padi. Kita periksa di BOD (basis operasi depan). Kita tanya baik-baik.”

"Apa dibilang Bapak saya, Bang,” kata seorang pemuda yang diinterogasi pagi itu, “’Nak, kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.’ Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM.”

Si pemuda kembali meyakinkan dengan mengulang kalimat yang sama. Beberapa serdadu sudah berpikiran untuk melepas pemuda itu.

Tapi seorang serdadu yang sedari tadi mengamati interogasi itu bertanya-tanya. Dia terus berpikir dan teringat secarik foto –guntingan dari koran– di ranselnya. Foto itu memuat pose Panglima GAM Teungku Abdullah Syafi'ie, yang dikelilingi sejumlah pengawalnya. Buru-buru dia mengambil foto itu dan mengamatinya. Anak muda itu … anak muda itu ternyata berdiri memegang handy talky di samping Syafi'ie!

“Ini foto siapa?!”

“Bukan saya Bang.”

“Apa kau bilang ...!”

“Ini foto siapa?!”

“Betul bang, ini bukan saya Bang. Ayah saya bilang, ‘Nak kamu jangan ikut-ikutan GAM. GAM itu nggak bakalan merdeka. Jadilah orang baik-baik saja.’ Pesan ayah saya gitu, Bang. Bener Bang. Sumpah Bang. Saya bukan GAM.”

“Akhirnya dia ….” Ada jeda sejenak sebelum Rokhim kembali melanjutkan ceritanya. “Pura-pura goblok kan dia. Ngomong sama orang goblok ya disekolahkan biar pandai.”

“Disekolahkan” adalah bahasa gaul tentara Indonesia untuk eksekusi mati bagi anggota GAM yang tertangkap. Pasukan Brigade Mobil (Brimob) menggunakan istilah “kosong-satu” untuk hal yang sama.

Cerita soal kontak di Cot Mamplam, Keumala, itu juga saya dapatkan dari seorang bintara yang juga ada di lokasi. Dia membenarkan cerita Rokhim. Dia sendiri malah ingat identitas salah seorang yang “disekolahkan” itu.

Menjelang akhir September, saat batas waktu saya ikut dengan pasukan teritorial habis. Rokhim menyemangati saya untuk ikut dengan pasukan gerak.

“Cerita sebenarnya ada di front,” katanya, “Ini sudah masuk musim hujan. Wah pasti mantap masuk hutan. Saya doakan situ diguyur hujan malam-malam. Tidak usah takut. Nanti lihat bagaimana caranya tentara tidur saat hujan. Nanti badannya pasti kekar. Sehat. Nanti kita cari sepatu boot. Itu enak dipake masuk rawa.”

Rokhim berharap-harap saya bisa ketemu GAM di hutan. Dia pernah membilangi saya penakut karena tak mau ikut penyerbuan ke daerah Kuala Tripa. “Itu kesempatan emas. Kenapa tidak diambil? Kapan lagi bisa dapat kesempatan seperti itu?! Kalau ikut, situ akan tahu tentara kita berani apa tidak kalau dengar AK.”

Saya cerita kalau saya sungkan untuk ikut pasukan gerak karena yang punya hajat adalah pasukan gabungan dari Kostrad dan Kopassus. Saya belum “diserahterimakan” ke komandan dua pasukan itu. Saya juga tak mau dikira tergila-gila bertemu GAM. Selain itu saya sudah dibilangi kalau medannya berat. Mesti pakai berenang di sungai dan masuk rawa segala.

Tapi Rokhim tak percaya. Hampir seharian dia menyindir saya. “Kalau takut sama sungai lebar, berenang pakai ponco saja. Lepas baju lepas celana. Sepatu digantung di leher. Ponco diikat ujungnya trus … kluk-kluk-kluk … pasti mengapung sampai di sebelah … Ah, situ memang penakut!”

Memang, pasukan gabungan yang berangkat ke Kuala malam itu bertemu GAM. Dua orang serdadu GAM tewas dan satu pucuk senapan pelontar granat rakitan berhasil disita. “Semalam kita sudah masuk killing ground. Kontak selama berjam-jam. Untung nggak ikut,” cerita seorang sersan satu.

Sekitar sebulan lamanya saya pergi dengan Rokhim. Kemana dia pergi saya ikut. Sampai suatu saat Rokhim jengah setelah seorang perwira pertama bertanya, “Rokhim, mana body system kamu?”

Body system adalah istilah yang sering digunakan pasukan gerak. Dalam setiap gerakan, setiap prajurit punya seorang pendamping. Bukan sekadar pendamping. Pendamping itu harus tahu segala hal menyangkut rekannya, dari ujung kaki sampai ujung rambut, dari warna celana dalam hingga berapa jumlah uang di dompet rekannya.

Ditanyai begitu, Rokhim sepertinya menyadari sesuatu. Selama ini dia praktis menghabiskan waktunya dengan saya. Kemana dia pergi selalu ada saya. Dia nyaris tak punya banyak kesempatan bergaul dengan rekan-rekannya. Suatu malam, Rokhim membuka pembicaraan, “Mas ini saudara saya. Tapi mulai sekarang kita jaga jarak yah. Saya nggak enak sama anak-anak yang lain. Mas hanya dua bulan di sini.”

Saya berpisah dengan Rokhim awal Oktober silam. Saat itu, dia masih menanggung sakitnya yang sudah sebulan tak mau hilang: sariawan. “Mas kalau ketemu istri saya tidak usah cerita yang sengsara-sengsara di sini, yah.”





II

RASA bosan adalah salah satu beban dalam peperangan. Saya juga merasakannya. Rekor saya tinggal di pos hanya tiga hari. Memasuki hari keempat, saya mulai mencari informasi kapan ada lanjutan ke kota atau ke pos lain.

Orang-orang pos punya berbagai macam cara untuk mengatasi kebosanan. Mereka punya dunia sendiri. Bangun pagi, seisi pos sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Yang memelihara burung akan memandikan piaraannya. Mahluk-mahluk itu disuapi makanan, diajari bicara, diperbaiki sangkarnya, diajak berjemur menikmati matahari pagi. Kadang mereka menyetelkan lagu buat piarannya itu. “Biar suaranya bagus,” kata seorang serdadu.

Banyak tentara dari Jawa suka memelihara burung. Saya pernah mendapati pos yang jumlah sangkar burungnya 40 buah, dua kali lipat penghuni pos. Kicauan burung-burung di situ terdengar nyaris setiap saat. Suaranya bahkan lebih nyaring ketimbang kicauan teman-temannya di hutan belakang pos.

Burung memang mudah di dapatkan di Aceh Barat. Biasanya, warga yang datang berobat (gratis) ke pos menyerahkan burung atau makanan burung. Ada banyak jenis burung. Murai batu yang paling sering saya lihat di samping perkutut, beo, dan tekukur.

Membuat sangkar burung jadi kesibukan tersendiri. Rangkanya terbuat dari kayu sementara jerujinya dari bambu. Orang pos membuatnya bermodalkan sangkur dan besi panas untuk melobangi rangka. Ukurannya bervariasi. Yang paling besar yang pernah saya lihat seukuran tempat tidur bayi lima tahun. Dipernis dan dicuci tiap hari. Mereka kadang menamai burung piaraannya dengan nama orang-orang GAM yang jadi target operasi di Aceh Barat, seperti Juragan dan Cut Man.

Mereka bergiliran masak. Sejak lepas subuh, mereka mandi asap kayu bakar di dapur. Pagi sarapan dengan telur dadar dan nasi panas. Baru siangnya ada sayur dan ikan. Kalau ada kelapa, mereka bikin sayur santan. Ikannya rata-rata digoreng. Nanti kalau banyak bawang merah dan cabe besar, ikan goreng itu diberi bumbu. Soal rasa tergantung siapa yang masak. Terkadang terlalu asin dan seringkali anyep karena bumbunya kurang.

Ada satu menu yang tak pernah hilang di pos: sambel. Kalau ada terasi, pakai terasi. Kalau tidak, ya cabe, tomat, bawang, garam dan sedikit vietsin diulek. Tentara Jawa biasanya bawa ulekan akar pring dari Jawa sana. Mereka tak nyaman memakai ulekan Aceh yang besarnya seperti lesung penumbuk padi.

Masih soal menu, saya pernah terperajat menyaksikan mewahnya daftar menu pos Rajawali di Krueng Sabee. Menu ditulis jelas-jelas di papan dapur. Pagi: Nasi Putih, Telur, Teh Manis, Krupuk. Siang: Ayam Goreng, Sop, Empal, Lodeh, Sayur (asam/bening), Ikan Asin, Sambal, Lalap. Sore: Sarden, Cornet, Ikan Bakar, Opor Ayam, Gudeg, Soto, Telur. Fooding: Susu, Jeruk, Mie (rebus/goreng), Telor ½ matang, Kelapa Muda. Ternyata ini hanya fantasi orang dapur saja. Realitasnya ya sama dengan pos lain.

Jadwal makan orang pos sudah teratur. Pagi biasanya antara pukul tujuh dan pukul delapan. Siang sebelum masuk dhuhur dan makan malamnya menjelang magrib. Mereka biasanya makan dengan serba plastik: piring plastik, sendok plastik, dan gelas plastik. Semua peralatan makan itu, termasuk peralatan masak, dibeli dengan uang prajurit sendiri.

Setiap bulannya, mereka dapat pembagian beras dan beberapa kaleng konserven (makanan kaleng). Praktis orang pos tinggal mencari lauknya. Rata-rata, setiap orang pos menyetor Rp 1.000 setiap makan. Mereka kadang minta ikan ke nelayan atau penjual yang lewat depan pos.

Semua mengambil makanan di dapur kecuali komandan pos. Bos satu ini memang spesial. Dia yang paling duluan dapat jatah makanan, porsinya lebih banyak, dan diantar ke kamarnya. Kalau saya datang, orang dapur punya dua bos. Seringkali apa-apa wartawan duluan. Saya pernah mendengar seorang serdadu menegur temannya karena mengambil makan terlalu banyak. “Nanti wartawan tidak dapat.”

Suatu saat, saya iseng bertanya ke orang dapur, “Kok kita nggak pernah makan daging?”

“Bagaimana kalau saya tembakkan Bandung Ambon Bandung Irian?”

Saya menolak karena tak makan babi.

“Kalau (saya tembakkan) burung rangkong mau?”

“Kelelawar?”

Saya tetap menggeleng dan iseng-iseng bertanya, “Orang pos bagaimana bisa marah kalau tidak makan daging?”

“Bang, tentara itu biar tidak makan daging sudah sangar.”

Biasanya, setelah merawat binatang piaraan, orang pos merawat badan sendiri. Di setiap pos, selalu ada peralatan fitness seperti barbel, erekan, dan samsak. Mereka tak ingin pulang tugas dengan perut buncit.

Sudah itu mandi. Tentara umumnya mandi telanjang bareng-bareng. Yang tidak suka, biasanya mandi pakai celana kolor atau pas sumur sepi. Mandi dan sekalian mencuci pakaian. Baju dan celana loreng biasanya dicuci dua kali seminggu. Kalau lebih dari itu, di baju ada garis-garis putih yang kalau banyak seperti peta saja. Awalnya saya kira peta itu terbentuk karena mereka tak bersih saat membilas. Kemudian seorang serdadu bercerita kalau peta itu karena air keringat (bergaram) yang menempel di baju. Pakaian yang kering habis dijemur biasanya langsung dilipat.

Kegiatan bersama orang pos sudah direncanakan sejak malam sebelumnya. Komandan peleton atau bintaranya sudah menunjuk siapa giliran patroli dan jaga pos. Porsinya setengah-setengah. Sepuluh orang patroli dan sisanya jaga pos plus memasak.

Patroli adalah saat orang pos bergaul dekat dengan warga desa. Satu hingga enam bulan pertama mereka masih menikmatinya. Tapi kalau sudah lewat enam bulan, istilah tentara sudah masuk yang namanya “masa bodoh.” Di kepala prajurit yang terpikir cuma kapan pulang. Mereka biasanya kembali hapal hari dan tanggal berapa sekarang. Satu sampai enam bulan pertama boro-boro.

Saat patroli mereka akan bertegur sapa dengan setiap orang desa. Kadang mereka singgah sekadar untuk tahu berapa jumlah penghuni rumah dan siapa-siapa saja orangnya.

Setiap pekan, orang pos sudah punya jadwal desa mana yang harus mendapatkan apel. Mereka memilih hari Jumat karena hari itu orang kampung di Aceh tak pergi ke ladang hingga usai Jumatan.

Saya pernah mengikuti apel di desa Cot Mugah. Jangan bayangkan apel yang kaku. Ini tanpa baris-berbaris, terkesan santai saja. Warga desa, tua muda laki perempuan, berkumpul di tempat yang teduh dan komandan pos berdiri di depan.

Acara pertama absensi. Orang-orang desa pada diabseni. Kalau seisi rumah tak bisa datang, mesti ada yang mewakili. Yang diabsen utamanya orang yang pernah terlibat GAM. Orang pos punya catatannya. Mereka mendapatkan catatan itu dari pasukan yang bertugas sebelumnya. Mereka yang ada namanya di daftar itu harus melakukan registrasi ulang setiap pasukan di pos berganti. Pemutihan, istilahnya.

Selepasnya, ada pengarahan dari komandan pos. Isinya macam-macam. Tapi intinya ini: “Jaaaaaaaaaaaaangan sekali-sekali ikut GAM. Tidur di hutan itu tidak enak. Saya di pos sana nyamuknya saja sudah minta ampun. Anak ditinggalin, istri ditinggalin. Kalau ikut ke sana akibatnya rugi semuanya. Nggak usah gaya-gayaan bawa senjata, bapak-bapak. Tidak ada gunanya! Mendingan kita ambil cangkul, pergi ke ladang, ada hasil bisa dimakan sama-sama dengan keluarga.”

Kalau ada apel, mungkin keuchik (kepala desa) yang paling terbebani pikirannya. Dia harus punya jawaban kalau orang pos bertanya kenapa si A atau si B tak ikut apel. Dia juga kadang jadi sasaran awal kekesalan tentara terhadap apa yang terjadi di desa.

Pernah suatu hari saya bertanya ke orang pos apa yang akan dilakukannya kalau pos diserang. “Gampang,” katanya, “Cukup panggil keuchik dan suruh orang desa apel dan guling di jalan sampai aspal di depan pos ini rata.”

Keuchik juga kadang jadi sasaran kekesalan orang GAM. Sudah banyak keuchik yang mati karena berselisih dengan orang GAM. Biasanya soal pajak. Pajak Nanggroe, istilahnya. Saya tak pernah melihat langsung orang GAM memungut pajak, tapi saya punya contoh kuitansinya. Isinya memuat keterangan nama barang yang diserahkan dan berapa jumlahnya dalam bahasa Aceh. Di pojok bawah kuitansi tertera keterangan “aseuli meuwarna, fotocopy hana sah” (asli berwarna, fotokopi tidak sah).

Sepulang patroli, orang pos beristirahat. Selepas ashar, mereka berolahraga. Ada yang turun main volley (enam yang main, empat mengamankan) dengan warga desa. Ada juga yang kembali menekuni alat-alat fitness.

Kalau capek menggerakkan badan seharian, begitu habis isya orang pos langsung tidur. Jangan bayangkan ada kasur dan ranjang di pos. Mereka tidur beralaskan matras dan berjejer di sebuah ruang panjang seperti bangsal rumah sakit. Biasanya, dari rumah mereka sudah membawa bantal, yang kadang ada sulaman nama istri dan anak-anaknya.

Yang belum ngantuk biasanya nonton VCD. Orang pos punya banyak koleksi VCD dari film Mickey Mouse, Tom and Jerry, hingga film India Kuch-Kuch Hota Hai. Tapi yang sering diputar VCD Dangdut Koplo (itu lho, dangdut yang penyanyinya berpakaian super ketat dan melenggok-lenggok menirukan adegan di film porno). Kadang, kalau punya persediaan, mereka nonton VCD porno yang mudah dicari di rental VCD di kota terdekat.

Tidurnya serdadu di pos selalu disela jadwal jaga serambi. Biasanya mereka berjaga selang sejam. Ini berlaku buat semua penghuni pos. Saat jaga, semua lampu dipadamkan. Di pos jaga selalu ada senapan otomatis.

Kalau pas malam Jumat, di pos biasanya ada Yasinan. Tahlilan kalau orang pos mendengar ada tentara Indonesia mati di Aceh. Dan kalau malam Minggu, orang pos biasanya gitar-gitaran. Banyak yang pintar menyanyi. Dangdut biasanya. Instrumen musik yang digunakan lumayan lengkap. Ada gitar melodi, drum, bass, suling, dan lain-lain. Tapi … semuanya dengan mulut.

Minggu siang waktunya pelesiran. Pelesiran tentara di Aceh tetap saja dengan senjata sudah dikokang. Tujuan mereka biasanya ke kota kecamatan atau ibukota kabupaten. Tempat yang pertama kali mereka datangi biasanya wartel. Di situ mereka melepas rindu dengan orang di rumah.

Saban minggunya, ada ratusan tentara yang turun gunung untuk menelpon. Mereka yang seringkali bayar mahal adalah serdadu yang sudah berkeluarga. Makin banyak anak makin besar yang mereka bayar. Kadang sampai Rp 90 ribu sekali telepon.

Selain telepon, banyak serdadu yang memilih berkomunikasi menggunakan surat. Saya pernah melihat seorang serdadu yang sekali duduk menulis sampai 10 surat. Dia masih bujangan.

“Banyak fans,” katanya.



III

Malam itu 100 orang serdadu disiapkan menyergap persembunyian GAM di wilayah Jeuram. Sebuah kekuatan besar untuk menghadapi musuh yang ditaksir 30 orang. Ada pengarahan tambahan setelah seorang mayor memberikan perintah operasi. “Kalian jangan salah lirik,” katanya, “Ada empat orang sipil yang ikut dengan kita. Tiga orang ini adalah panah (penunjuk jalan). Yang di belakang itu wartawan. Dia sudah dapat izin dari Pangkoops. Liat baik-baik mukanya.”

Mayor itu sepertinya dapat membaca kecemasan saya. Saya satu-satunya orang yang berpakaian preman malam itu. Tiga sipil lainnya mengenakan stelan loreng tentara. Salah seorang bahkan menyembunyikan wajahnya di balik seeboo karena mengira saya bisa membongkar identitasnya.

Pengarahan ditutup dengan doa. Sesudah doa, seluruh serdadu sudah tahu apa yang harus mereka lakukan: mengokang senjata. Seratus-seratusnya. “Krak-krak-krak-krak-krak ….” Ramai tangkai pelocok beradu dengan besi pembungkus kamar senjata.

Beberapa prajurit juga dibekali senapan pelontar granat. Panjangnya sekitar dua jengkal. Hitam manis warnanya. Diameter larasnya seukuran kaleng soft drink. Granat yang ditembakkan dari laras itu berbentuk tabung. Setengah jengkal panjangnya, kaliber 40 mm. Sebagian serdadu menyebutnya granat lintas mekar. Bila mengenai sasaran, serpihannya akan bermekaran seperti bunga kol. Bayangkan jika itu mekar di tubuh manusia ….

Soal suara, jangan ditanya. Bila meletus, granat itu cukup untuk membuat musuh kecut. “GAM hanya ketawa kalau dengar SS-1. Mereka itu hanya takut sama Minimi, TP dan SPG,” kata seorang prajurit kepala.

Senapan Pelontar Granat atau SPG memiliki banyak kesamaan dengan GLM (Grenade Launching Machine). Peluncur granat GLM melekat di M-16 sedangkan SPG melekat di senapan serbu SS-1.

Minimi. Senapan Belgia ini sanggup menghaburkan ratusan butir peluru hanya dalam hitungan detik. Panjangnya sekitar semeter, hampir sama dengan panjang SS-1. Amunisinya sama-sama berkaliber 5,56 mm kendati pada Minimi amunisi dalam renteng sepanjang dua meter.

Di setiap rentengnya, amunisi terikat empat-empat. Setiap treknya ada tiga amunisi anti personel dan satu amunisi pembakar. Rumput kering akan terbakar jika tersiram amunisi pembakar itu.

Soal ukuran diameter, laras Minimi sedikit lebih besar dari laras SS-1. Jika 200 butir peluru muntah dalam sekali tarik picu, laras Minimi akan memerah seperti besi tempa. Karena itu, penembak Minimi selalu membawa laras cadangan di ransel.

Malam itu saya melihat banyak prajurit yang mengantung Tabung Pelontar atau TP di pinggang. Ada TP Anti Tank dan TP Anti Personel. Yang Anti Tank berwarna hitam dan yang Anti Personel berwarna hijau. Mereka hanya membawa TP Anti Personel.

TP Anti Personel tersimpan dalam sebuah tabung plastik. Barangnya sepanjang dua jengkal orang dewasa. Modelnya seperti roket mini. Ada serdadu yang pernah kurang ajar menakut-nakuti seorang kakek dengan menyelipkan roket itu di bajunya. Kakek itu menangis sesegukan karena cemas roket itu meledak di perutnya.

Jika Anda ingin mendengar letusan TP, pasang saja di laras SS-1. Proyektil yang keluar dari laras SS-1 akan menghantam picu TP dan membuat granat di ujungnya melenting hingga 500 meter. Begitu mengenai permukaan keras, granat itu akan meledak. Apa saja yang rapuh dalam radius 15 meter dari lokasi ledakan akan terhambur. Yang kering akan terbakar.

“Ini jangan dinyalakan yah,” kata Kapten Dedi Hardono ketika melihat saya membawa tape recorder. Kapten Dedi adalah perwira seksi operasi. Dia panglima perangnya Batalion 521 di Aceh Barat. Dia tak ingin lampu merah penanda rekaman di tape recorder saya merusak kerahasiaan gerak pasukan di kegelapan malam.

Tepat tengah malam, kami berangkat menumpang empat truk Mercedes Benz. Nyaris tak ada pembicaraan selama perjalanan. Serdadu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Beberapa di antaranya menyalakan rokok, mengisapnya dalam-dalam, karena mereka tak bisa merokok dalam operasi.

Truk melaju dengan kecepatan sedang. Deru mesinnya berpadu dengan hembusan angin yang seolah hendak merobek terpal mobil. Jalanan sepi. Di luar sana gelap.

Sekitar sejam kemudian, gerak konvoi tiba-tiba berhenti di depan Komando Resort Militer Jeuram, Kecamatan Nagan Raya.

“Diaannncuk, kenapa berhenti di sini?”

“Kenapa?”

“Wes nggak rahasia lagi. Bocor pasti. Cuak GAM pasti sudah melapor ke hutan. Orang Koramil ini tidak bisa dipercaya.” Ada jeda sebentar sebelum sersan satu itu kembali mengumpat: “Diannnnnnnnncukkkkk.”

Selang beberapa menit, saya tahu kalau konvoi ternyata salah jalan. Kami harus balik kanan.

Konvoi lalu bergerak ke sebuah simpang empat yang telah terlewati. Truk masuk ke jalan berbatu. Kiri-kanan persawahan. Makin ke dalam, makin gelap. Perumahan penduduk makin jarang.

“Sebentar lagi sampai,” kata seorang serdadu yang duduk di samping saya. Kami masih tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Melihat rokok saya hampir habis, dia menawarkan yang baru. “Santai saja,” katanya, tersenyum.

Kami akhirnya sampai di “titik bongkar.” Muatan dibongkar depan sebuah pasar kecil. Belasan penduduk yang ronda malam itu terkejut melihat banyak serdadu berlompatan dari bak mobil. Mereka dikumpulkan, diberi pengarahan singkat, dan ancaman. Intinya, cukup mereka saja yang tahu kehadiran pasukan malam ini.

Lima menit kemudian, truk yang telah kosong balik kanan, meninggalkan serdadu yang mulai berbaris menurut kelompoknya.

Si kapten nampak kesal melihat beberapa serdadu lupa di mana kelompoknya.

“Kamu jangan jauh-jauh dari saya,” katanya pada saya.

Empat tim itu mulai bergerak dengan selang keberangkatan sekitar lima menit. Tim Kopassus dan Kostrad yang berangkat pertama.

Tiba giliran regu saya bergerak. Tak sampai dua menit, kami telah mencapai ujung kampung. Pasukan telah melewati lampu jalan yang terakhir.

Kegelapan menyergap. Saya tak dapat melihat apa di sekeliling saya dalam jarak setengah meter. Yang saya tahu saya harus terus melangkah, mengikuti derap laras di depan saya.

Lima menit, 10 menit. “Har … Har … berhenti dulu. Saya ketinggalan.” Kapten Dedi Hardono, dengan suara lirih, mencoba meminta prajurit yang bergerak paling depan berhenti.

Panggilan di handy talky itu tak berjawab.

Orang di depan saya mulai jalan setengah berlari. Ternyata kami tertinggal jauh di belakang. Sekitar lima menit setelah kehilangan kontak, tim kembali utuh.

Pasukan terus bergerak. Sekitar setengah jam kemudian, force speed tiba-tiba menghentikan langkahnya. Semua di belakangnya kaget. Kami seperti nenek kehilangan tongkat. Ada yang nyaris mencium tanah karena ditubruk dari belakang. Kaki serdadu di belakang saya rupanya tidak punya rem juga. Larasnya menghantam betis saya.

Pasukan berhenti. Semua jongkok. Saya dapat mendengar gemercik air dari kejauhan. Kami sepertinya jalan dekat saluran irigasi.

Enam meter di depan sana, muncul suara yang lamat-lamat di telinga. “Ssstttttttttttt.” Rupanya, serdadu paling depan menyuruh yang di belakangnya senyap. Yang di belakangnya juga mengulangi pesan serupa hingga ke telinga serdadu terakhir.

Ada sekitar lima menit kami berjongkok. Tak jelas apa yang melatari sampai force speed tiba-tiba berhenti. Tapi tindakannya itu menyebabkan ketegangan yang sedari tadi mengiringi makin menjadi.

Pasukan bergerak lagi … Berhenti lagi … Bergerak lagi … Berhenti lagi.

Sekali dua, pemberhentian tiba-tiba itu meremas-remas jantung. Tapi setelahnya banyak serdadu yang mulai santai. Sudah ada yang berani duduk berselonjor dan melepas kentut. Kewaspadaan mereka mulai menurun.

Saya juga capek. Lutut rasanya mau copot. Mata letih memelototi kegelapan di sekeliling.

Ah, sudah pukul tiga. Sudah dua jam kami berjalan. Kaki rasanya otomatis melangkah mengejar langkah orang di depan. Seandainya tak malu, saya rasanya ingin bilang ke Kapten Dedi agar berhenti dulu dan baru jalan saat tanah sudah terang.

Pasukan berhenti lagi. Kali ini, belum sempat jongkok, ada kata yang merayap dari depan, “Balik kanan. Balik kanan.”

Ternyata pasukan salah jalan lagi!

Hampir pukul empat subuh tapi pasukan masih terus bergerak. Kali ini setengah merunduk saat melintas di sebuah tanah lapang. Setelahnya, semak-semak menghadang. Berkali-kali saya tersandung. Dalam hati saya berharap semoga kami tak salah jalan lagi.

“Mundur. Mundur. Sasaran sudah di depan! Sasaran sudah di depan!”

Pendadakan itu membuat banyak serdadu gelagapan mundur.

Sasaran ternyata sudah di depan sana dan kami hampir menerobos begitu saja tanpa persiapan.

Kapten Dedi menyiapkan formasi penyerangan.

“Mana Minimi,” bisiknya, mencari serdadu yang menenteng Minimi.

“Minimi … Minimi ….” Beberapa serdadu mengulangi panggilan itu. Ada 12 belas pucuk Minimi malam itu, tapi tak satupun yang berada di dekatnya.

Selang sebentar, yang dipanggil akhirnya datang merayap. “Kamu ini …!” Kapten Dedi berbisik dengan nada membentak.

“Mana wartawan?” bisiknya ke seseorang di dekatnya. Hari masih gelap. Dia tak dapat melihat saya yang tiarap di semak dua meter di kirinya.

Terang-terang tanah, 25 serdadu bergerak mendekat. Sedekat mungkin ke bangunan yang mereka incar. Tiga puluh meter, 20 meter … 10 meter. “Diancukkkkkkkkkkkkkkk!” Setengah terperajat, beberapa prajurit menyumpahi bangunan 10 meter di depan sana, yang ternyata sebuah kandang kambing.

Saat itu baru jelas. Sasaran sebenarnya ada 50 meter sebelah kanan kandang kambing itu. Sebuah gubuk dan beberapa petak rumah kopel beratap seng.

Kokok ayam kian jelas terdengar. Sebentar ini mungkin akan ada nyawa yang akan meregang.

Pasukan mengepung perumahan di tengah hutan sawit itu dalam formasi L.

“Tang-tang-tang.” Beberapa serdadu menghujani rumah beratap seng itu dengan batu. Mereka ingin tahu reaksi penghuninya. Senyap. Tak ada senjata yang menyalak dari sana.

Prajurit dari Kopassus dan Kostrad bergerak cepat. Mereka telah mengepung rumah itu dari jarak sekitar lima meter. Saya dapat melihat itu jelas dari balik pohon sawit. Mereka terus mendekat.

Lalu sebuah teriakan memecah keheningan, “Ujang, Awewe, Barudak. Kaluar! Kaluar!” Teriakan itu berasal dari seorang prajurit Kopassus dari Sunda.

Tapi itu sudah cukup. Seorang perempuan menampakkan diri. Nurhayati yang tak memahami ucapan itu dan tak pernah membayangkan gubuknya akan disantroni serdadu tergopoh-gopoh keluar. Di badannya hanya melekat baju kusam yang kancingnya tak tertutup semua dan selembar sarung cokelat yang warnanya telah memudar.

“Mana Bapak!?”

Dibentak begitu, Nurhayati takut. Tangisnya pecah. Pelan-pelan, dari balik pintu, suaminya keluar dengan hanya mengenakan handuk yang juga kusam.

Para serdadu bergerak cepat. Gubuk digeladah bersamaan pemeriksaan rumah kopel di dekatnya. Hasilnya sama. Tak ada senjata.

Beberapa prajurit penasaran. Bagaimana mungkin informasi A-1 salah!?

Mereka mendatangi Muhammad yang berdiri kaku di halaman rumahnya. Dua meter di sampingnya, Nurhayati masih berusaha meredakan tangis anak mereka Nurinsana.

Ada dialog. Beberapa serdadu berkali-kali bertanya dalam bahasa Indonesia, sementara Muhammad, dengan sepenuh perhatian, menjawab dalam bahasa Aceh.

Seorang sersan dua yang berdiri di samping saya mulai gerah. Dia pikir satu-dua kali jotosan ke muka Muhammad akan membuat komunikasi nyambung. Bohong kalau dia tidak bisa bahasa Indonesia! Masak tidak bisa sih!?

“Kalau Bapak itu saya pukul, Mas tulis atau tidak?” sersan itu bertanya pada saya.

Saya jawab dengan menjauh dari tempat itu. Bukannya saya tak mau menulis tapi repot sekali menjawabnya. Dari jarak 20 meter, saya lihat berkali-kali dia menepuk-nepuk senjatanya. Sepertinya dia bertanya apakah pasangan itu pernah melihat orang membawa barang seperti senjata yang disandangnya.

Dia menyerah. Saat sarapan pagi di depan gubuk itu, dia memberi komentar singkat: “Memang belum rezeki.”

Yang kebagian rezeki pagi itu justru Nurhayati dan tetangganya. Lepas sarapan, beberapa serdadu membagikan jatah biskuit atau nasi kaleng yang tak menarik selera mereka. Seorang ibu yang lewat di depan rumah Nurhayati ikut ditawari. Awalnya, dia menolak karena mengira nasi kaleng itu bom.



KAMI pulang pagi itu juga. Berjalan kaki melintasi rute yang sama tapi dengan waktu yang lebih cepat, sekitar 1,5 jam. Semalam kami ternyata melintas di jalan padat karya yang membelah hutan sawit milik PT Fajar Bayzuri & Brother di Paya Malem.

Serdadu kalau pulang penyergapan kosong, jalannya biasanya ngawur. Banyak yang bergerombol kendati sudah diperingatkan agar tetap waspada. Mereka sudah capek. Kami hanya sanggup berjalan hingga saluran irigasi di sebuah persimpangan. Lewat radio PRC (portable radio communication), truk diminta menjemput lebih ke dalam.

Sejam menunggu, truk belum juga datang. Beberapa serdadu mengajak berkenalan. Kami ngobrol banyak hal. Di situ saya sempat melihat peta topografi wilayah Jeuram yang dibawa seorang serdadu.

Besarnya seukuran kertas A-1. Fotokopian, dibungkus plastik. Ini peta standar Tentara Nasional Indonesia di Aceh. Setiap pos punya satu peta. Peta itu yang jadi batas sekaligus acuan gerak mereka.

Peta ini isinya mendetail. Setiap karvah punya koordinat posisi. Kontur tanah jelas terlihat. Demikian pula jalanan, perumahan penduduk, rawa, kebun sawit, kebun karet, sungai, persawahan …. Pokoknya orang dijamin tak akan tersesat jika menggunakannya.

Di pojok peta itu saya membaca catatan kalau peta itu dibuat Dinas Topografi TNI Angkatan Darat bekerjasama dengan sebuah lembaga Australia. Peta ini, peta yang menjadi acuan semua serdadu Indonesia di Aceh, dibuat berdasarkan pencitraan satelit tahun … 1974! Hampir seperempat abad lalu atau dua tahun sebelum pecah pemberontakan bersenjata di Aceh. Bisa dimengerti kalau mereka sering tersesat.

Selang sebentar, datang tim penutup. Semalam, mereka bertugas menutup jalan pelolosan GAM. Jarak yang mereka tempuh lebih jauh tapi raut wajah mereka menyiratkan kemenangan.

“Laron!” kata seorang serdadu yang menunjuk GAM tertangkap.

Laron itu sudah berdarah. Bibir atasnya lebam. Sepertinya habis dinyonyor laras. Ada luka sayatan sekitar tiga sentimenter di pipi kirinya. Cipratan darah membasahi bajunya. Namanya Ismail. Umur 34 tahun. Tingginya sekitar 160 centimeter. Pekerjaannya makelar karet. Pagi itu dia ditangkap karena gugup saat berpasasan dengan pasukan. Ada yang mengenali wajahnya.

Sebentar saja, puluhan serdadu mengelilinginya. “Tadi malam dia melihat kita lewat di irigasi,” kata seorang serdadu menjawab pertanyaan rekan-rekannya apakah Ismail yang membocorkan kehadiran pasukan semalam.

Truk ternyata tak bisa menjemput ke dekat irigasi. Kami harus jalan lagi sambil mengawal Ismail. Tangannya tak diikat sehingga dia bebas mendorong sepedanya. Dalam hati saya berharap semoga dia tak melarikan diri selama perjalanan.

Kami jalan terus. Sambil jalan, beberapa serdadu yang gemas mendekatinya. Ada yang sekadar ingin bertukar sapa ada juga yang mengancam akan menembak jika Ismail mencoba melarikan diri. “Itu ada wartawan. Kamu akan dikirim ke Jakarta.” Raut muka Ismail sontak berubah. Dia termakan gertakan itu.

Kami sampai di titik penjemputan. Ismail dan sepedanya dinaikkan ke truk, dijaga sekitar 25 orang serdadu. Dari belakang, ada yang menghardik, “GAM! Anjing kamu. Babi!” Seorang perwira segera menimpali, “Ojo dikerasi lho. Ojo! (Jangan dikerasi lho. Jangan!)”

Dua-tiga hari setelah penyergapan di Paya Malem itu, saya kembali bertemu Ismail. Sudah banyak perubahan. Lebam di bibirnya sudah hilang. Sayatan kemarin seperti tak pernah ada saja. Saya dengar pulihnya Ismail berkat keterampilan bintara kesehatan merawat Ismail saat diterungku (dikerangkeng).

Hari itu wajah Ismail nampak cerah. Baju yang dipakainya tak ada bercak darahnya lagi. Berkali-kali dia mencoba tersenyum ke arah saya. Saya membalasnya, tapi tak berani mendekat. Selalu saja ada serdadu di sampingnya.

Apa kesalahan Ismail sampai ditahan? Sehari setelah ditahan, satu regu serdadu mendatangi rumah-kebunnya di Paya Malem. Di situ, tentara menemukan barang bukti berupa antena handy talky, belerang (bahan dasar pembuatan bom), dan TP (tabung pelontar) yang sudah kadaluwarsa. Tapi tak ada amunisi atau senjata. Habis mengambil barang bukti, rumah itu dibakar.

Saat diinterogasi, Ismail mengatakan barang-barang itu bukan miliknya. Itu, katanya, milik orang GAM yang kebetulan singgah makan ke rumahnya. “Sampai mati pun jawaban saya tetap begitu, Pak,” kata seorang bintara menirukan Ismail.

Seorang perwira intel senior tak membeli alibinya itu. Ismail sudah jelas-jelas GAM. “Kalau saya yang dapat pertama kali saya tembak langsung.”

Sekitar sepekan setelahnya, Ismail dibebaskan. Tapi dia masih kena wajib lapor ke pos pasukan teritorial satu kali seminggu.

Pasangan suami-istri Cut Ali bin Nasir tak seberuntung Ismail. Mereka ditangkap karena ada laporan bahwa ada pelarian GAM dari Aceh Selatan yang tinggal di Suak Nyamuk, Kecamatan Darul Makmur.

Laporannya cukup detail. Dia tinggal bersama istrinya di sebuah rumah kebun. Tak punya anak. Di telunjuk kirinya ada luka bekas tertusuk duri.

Subuh itu menjelang peringatan ulang tahun Tentara Nasional Indonesia 5 Oktober silam, Nasir memang apes. Saat berjaga di kebun, dia tak dapat mengenali kalau 20 meter dari tempatnya duduk, di sela-sela bedeng kacang tanah, ada belasan serdadu yang mengincarnya.

Begitu tanah terang, dia dan istrinya ditangkap. Di rumah itu, tentara tak menemukan satu pun barang bukti yang mendukung bahwa Nasir adalah GAM. Tapi keduanya tetap digelandang ke pos tentara teritorial di Meulaboh. Nasir tak sempat memakai sandal saat digiring bersama istrinya.

Dan di sanalah penderitaan mereka bermula.

Nasir lebih dulu diinterogasi. Dia diminta bertelanjang dada. Di hadapan seorang mayor dan beberapa staf intel, Nasir membantah kalau dia terlibat GAM. Bantahan itu mengundang kemarahan.

Saya hanya tahan sebentar mengintip Nasir diinterogasi. Saya mencari Sersan Satu Handoko yang ikut menangkap pria bertato itu. Handoko orangnya simpatik. Banyak warga desa Aceh yang senang ke dia. Seingat saya, Handoko satu-satunya serdadu di Aceh Barat yang fasih berbahasa Aceh. Dia menikah dengan seorang gadis Pidie 1999 silam.

Di akhir ceritanya, Handoko mengungkapkan kekesalannya melihat Nasir dipukuli begitu. Menurutnya, mereka yang bertindak kasar itu tak tahu persoalan dan hanya cari-cari muka.

Seorang kapten yang ada di ruang interogasi juga memilih keluar. Dia jengah melihat beberapa bawahannya memukuli Nasir. Dia tak kuasa mencegah kendati itu terjadi di hadapannya. Saya kira dia sungkan karena bagaimana bisa melarang jika mayor di hadapannya justru menyetujui pemukulan itu?

Saat ngobrol dengan Handoko, seorang bintara mendekat dan mengaku tak tega melihat Nasir dijotosi sampai elek. Saya senang mendengarnya. Tapi sehari setelahnya, dalam bahasa Jawa, dia bercerita ke beberapa rekannya, di hadapan saya, kalau tangannya sampai sakit memukuli Nasir. Saya kecewa sekali merasa dibohongi. Saya mengerti bahasa Jawa walau sedikit.

Interogasi berjalan sekitar dua jam. Untuk pemeriksaan selanjutnya, Nasir dan istrinya ditahan di Pos Komando Taktis Pulo Ie, sekitar setengah jam perjalanan dari Meulaboh.

Di atas truk itu, Nasir yang saya lihat dua jam lalu jauh berbeda dengan Nasir sekarang: ada gumpalan darah beku di tulang belakang telinganya. Bibirnya lebam, hidungnya berdarah, dahinya penuh benjolan. Rahang kanannya membengkak sementara yang sebelah kiri seperti kempes.

Pasangan suami istri itu duduk di ban serep truk. Sekitar 20 orang serdadu bersenjata lengkap mengawalnya. Begitu duduk, istri Nasir mencoba menggamit lengan kiri suaminya. Tapi Nasir seperti tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tatapannya tetap lurus ke depan.

Siang itu dia mengenakan jeans yang birunya sudah memudar dan baju kaos lengan panjang warna kuning yang kerahnya seperti habis ditarik paksa. Lengan kanan dan bagian punggung baju itu penuh bercak-bercak darah.

Saya pernah mendengar seorang serdadu dari Makassar berandai-andai ada promotor yang mau memfasilitasi pertarungan gaya bebas ala UFC (Ultimate Fighting Championship) antara TNI dan GAM. Dan saya kira, kalau disuruh berkelahi satu lawan satu, akan banyak serdadu Indonesia yang berpikir 1.000 kali sebelum memberanikan diri menantang Nasir.

Tingginya dapat 175 cm. Dadanya membusung. Bahunya lebar. Pergelangan tangannya besar. Kumisnya yang bapang kian menambah kesan angker.

Tapi siang itu, Nasir dalam kondisi payah. Sungguh.

Saya duduk di sampingnya saat mendengar beberapa serdadu berseloroh: “Wes patheni ae (sudah bunuh saja).” Ada juga yang menginginkan Nasir diberi kesempatan menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Nanti kalau ternyata tidak ada, ya “wes patheni ae.” Istrinya? Ada yang mengusulkan tak usah dibunuh tapi dijadikan tukang masak di pos saja.

Truk bergerak. Istri Nasir mempererat dekapannya. Sekali dia mencoba membelai pahanya suaminya, tapi tak dilanjutkannya. Mungkin segan. Dia hanya memegang lipatan-lipatan kain yang membungkus lutut suaminya. Lain kali dia seperti hendak membisikkan sesuatu ke telinga Nasir. Nasir berpaling, tak berkata suatu apa, lalu kembali menatap lurus.

Saya kagum. Mungkin seperti beginilah harusnya laki-laki. Saya tak dapat membayangkan seperti apa keadaan istrinya jika Nasir tak tampil tegar siang itu.

Sebentar kemudian, Nasir mengelus-ngelus telunjuk kirinya. Dia mencoba menyapu darah yang masih menetes. Luka bekas tertusuk duri itu kembali merekah setelah seorang serdadu memukuli telunjuk Nasir dengan palu. Nasir mengakui keterlibatannya dengan GAM setelah itu.

Nasir dan istrinya diterungku di sebuah sel besi seukuran 3x5 meter. Ada selembar tikar di situ dan dua sak semen yang mungkin bisa dijadikan bantal. Banyak tahi kambing berceceran di lantai itu. Penjaranya di samping dapur umur. Beberapa serdadu berkali memukul-mukul seng samping penjara seakan-akan untuk menyambut kehadiran penghuni baru di sebelah.

Sekitar 50 meter dari tempat Nasir mendekam, di sebuah bangunan yang ditinggali para serdadu itu, saya melihat ada kursi listrik yang sudah berubah fungsi menjadi kandang burung. Model dan ukurannya seperti bangku kuliah mahasiswa. Hanya saja beberapa bagiannya, seperti sandaran punggung, dilapisi lempengan besi. Di tungkai kursi itu ada lengkungan besi berengsel yang pas di tungkai kaki.

Beberapa serdadu bercerita kalau kursi itu peninggalan Linud 700 Makassar. Saya banyak mendengar cerita miring tentang pasukan ini. Mereka menggunakan kursi listrik itu untuk melakukan interogasi. Banyak warga yang trauma dengan watak keras pasukan ini. “Matanya ditatap saja kita sudah digertak … ada salah sedikit main tempeleng,” kata seorang warga.

Dua-tiga hari setelahnya, saya kembali bertemu Nasir dan istrinya. Kondisinya sudah lebih baik. Lebam-lembam di mukanya hilang. Seorang serdadu malah memberinya baju ganti. Wajahnya kelihatan lebih segar, demikian pula istrinya.

Entah kenapa, hari itu dia menghampiri saya di sudut pos. “Saya Cut Ali. Cut Ali bin Nasir.” Katanya menjabat tangan saya erat-erat, seolah tak akan pernah bertemu lagi. Tapi dari keadaannya yang sudah membaik itu saya menduga sebentar lagi mereka akan dilepas, seperti Ismail dulu.

Memang, selama dua minggu setelahnya saya tak pernah mendengar kabar Nasir lagi. Pada pekan keempat Oktober, seorang bintara mengabarkan kalau Nasir dan istrinya melarikan diri.

“Melarikan diri?” tanya saya tak percaya.

“Iya,” katanya, “Waktu rumahnya digerebek ulang ada amunisi yang ditimbun ternyata.”

Tak selalu tentara kita mengorek informasi dari orang yang dinilai terlibat GAM dengan cara kekerasan, seperti yang telah dialami Nasir dan istrinya itu. Saya pernah melihat cara yang simpatik. Waktu itu ada informasi yang masuk ke pos kalau pemimpin pondok pesantren Babussalam, Abubakar Sabir, menampung sejumlah orang GAM.

Dua truk pasukan langsung meluncur ke dayah (pesantren) di jantung kota Meulaboh. Seorang mayor turun dan bertemu dengan kiai di situ. Entah apa yang mereka bicarakan. Keesokan harinya, kiai itu datang membawa belasan santrinya yang pernah ikut GAM. Mereka hanya diinterogasi dan diizinkan pulang dengan status wajib lapor sekali seminggu. (Ada juga laron yang baru dilepas setelah kakak, adik, om, tante dan sepupunya datang menjaminkan kepalanya)

Selama bergabung dengan pasukan, saya banyak melihat GAM yang turun gunung menyerahkan diri ke pos aparat. Jumlahnya mencapai 50 orang lebih. Mulai dari yang levelnya panglima sago (setingkat kemukiman) hingga yang dianggap GAM hanya karena pernah dipaksa ikut latihan perang-perangan selama tiga jam. Sebagian besarnya diperlakukan baik-baik. Hanya diinterogasi dan diberi pengarahan singkat.

Tapi biasanya, kalau tentara Jakarta punya informasi yang bisa diandalkan, laron tertentu akan dibujuk dan kalau tak mempan dipaksa menunjukkan tempat penyembunyian senjatanya. Seorang prajurit dua pernah bercerita kalau di posnya ada pecut ekor ikan pari. Cambuk itu berhasil memaksa seorang laron yang telah menyerahkan diri menunjukkan tempat penyimpanan senjatanya.



IV

SAAT bergabung dengan pasukan Rajawali awal Oktober silam, seorang sersan satu dari Kopassus Group I Serang mendekati saya. Dia tahu saya belum punya kawan hari itu. Di sela-sela obrolan, saya bertanya bagaimana rasanya tujuh bulan tugas di Aceh. Saya sebenarnya ingin menggali fenomena “mata kuning” di kalangan serdadu yang telah enam bulan lebih di medan tugas. Dengar-dengar, kalau kena penyakit itu, sapi pun akan terlihat cantik. Tapi jawaban yang saya dapatkan lain. “Biasa saja,” katanya, “Di sini itu perangnya (seperti) perang-perangan. Tapi kalau mati, mati beneran.”

Soal perang-perangan itu ada benarnya. Saya pernah mendatangi sebuah rumah yang menjadi saksi bisu perang TNI dan GAM. Rumah itu rumah seorang transmigran Jawa yang tak lagi berpenghuni di Sarana Pemukiman I, Alue Peunyareng, Meurebo.

Di dindingnya ada banyak tulisan. Isinya tantangan dan sumpah serapah TNI untuk GAM. Di tempat yang sama, GAM juga menorehkan tantangan dan cemoohannya.

Saya tak tahu siapa yang memulai. Tapi saya kira, kemarahan serdadu Indonesia dipicu tulisan arang di dapur rumah itu:

“I PAIE Alias Anjing Jalanan. I PAIE Sulid orang. (Orang)nya mati dibilang tidak mati … mati 20 orang dibilang lecet … TNI Cumak Ngomong yg bisa. Rakyat dia tahu yang salah dgn benar! TNI takut pada GAM. Kalau TNI Tidak takut pd GAM tidak perlu pi gi ramai2. GAM tak takut … TNI Cari Uang ke Aceh. Honda orang diambi. Punya sendiri tak ada. TNI Budak orang.”

Balasannya … oh mak, sampai memenuhi tembok di rumah itu, luar dan dalam.

Ini sebagiannya: “GAM. Gerakan Anak Murtad. Juragan Babi Tgk. Syafei. Linud 700/Kombet … Yonif 521 siap menumpas GAM (Gerakan Anak Murtad) … Kalau memang GAM jangan nembak dari jauh, tho!!! … GAM … !!! Cantoi, jelas kamu hanya pengisap keringat rakyat dan kamu tak ada bedanya dgn pacet … Bacalah ini wahai GAM. Semoga kamu sadar … GAM pengecup!!! Habis nembak lari. Pemerkosa, perampok, anjing, babi, monyet!!!”

Tapi ada juga yang nadanya kalem. Ada yang menuliskan beberapa penggalan ayat al-Quran yang intinya menyerukan perlunya semua Muslim saling menyayangi. Saya kira yang menulis itu berharap ada GAM yang tergerak hatinya dan bertobat setelah membaca tulisannya.

Perang-perangan juga berlangsung di udara. Di radio frekuensi umum, GAM dan serdadu Indonesia seolah berlomba memasukkan beberapa hewan penghuni kebun binatang ke situ.

“Jangan begitulah, Bang. Kita perang, tapi tidak usah di radio,” kata suara di seberang sana.

“Memang kau GAM, anjing, babi!”

Kadang GAM juga yang memulai: “Danki (komandan kompi) apa kamu ini. Tadi saya minum kopi di kedai depan posmu. Sama anak buahmu! … Kamu tidak tahu, yah? Makanya kalau ada orang lihat-lihat.”

Balasannya: “Kamu ke sini aja, Anjing. Saya tunggu sekarang kalau berani.”

Tapi sepertinya belum pernah ada yang mengalahkan rekor perang-perangan pasukan Rajawali dari Kostrad 432 Makassar di Bukit Tengkorak medio Mei silam.

Awalnya, saat berkenalan, seorang serdadu Kostrad dari Batalion 432 seperti menyesalkan kenapa saya tak datang meliput pasukan lebih awal.

“Dulu waktu di Bukit Tengkorak … oh mak …,” prajurit itu tak menyelesaikan kalimatnya. Dia hanya memeragakan memiting leher dengan tangan kanan seolah sedang menggoroknya leher seseorang.

“Sayang Abang terlambat. Sekarang ini sudah sepi,” sambungnya.

Saya jadi tertarik menggali adegan mirip-mirip Mel Gibson menggorok leher musuhnya dalam film Brave Heart itu. Suatu hari sebelum ikut penyerangan bersama Pasukan Rajawali ke wilayah Patek, saya menyempatkan mewawancari belasan serdadu yang ikut operasi di Bukit Tengkorak. Ada banyak versi cerita dari beberapa kali wawancara dengan orang-orang yang sama. Tapi garis besarnya sama:

10 Mei 2002—Sekitar 60 orang serdadu yang terbagi ke dalam tiga tim berangkat dengan berjalan kaki dari Lhoksari menuju Bukit Tengkorak. Sebelum berangkat, prajurit Linud 700 sudah memperingatkan bahaya yang akan menghadang. Di puncak bukit, kabarnya, GAM telah memasang senapan mesin berat 12,7 mm.

Pasukan bergerak jam dua malam dan baru sampai di sasaran saat terang-terang tanah. Letnan Dua Daulat Marpaung memimpin tim terdepan.

Di depannya kini berdiri dua bukit kecil setinggi 15 meter. Ada jalan beraspal yang memisah kedua bukit itu. Satu relatif gundul, sana sini ditembuhi semak-semak. Satunya lagi ditumbuhi lumayan banyak pohon karet muda.

Marpaung tak melihat ada tanda-tanda aneh di bukit itu. Burung-burung silih berganti datang dan pergi.

“Majuuu.” Sekitar 20 orang serdadunya menyelaber kedua bukit. Kosong tak ada apa-apa. Ternyata cuma onggokan dua bukit kecil saja!

Sekitar pukul tujuh pagi, komandan Kompi 432 Kapten Tumito Susanto memerintahkan Marpaung membawa serdadu masuk untuk memeriksa keadaan di Seumara, sekalian menggali informasi intelejen yang menyatakan banyak simpatisan GAM di situ.

Seumara jaraknya kurang 100 meter dari tempat pasukan berdiri. Sekitar 10 meter dari jalan yang membelah bukit, ada jembatan sepanjang empat meter yang mengantar ke perkampungan di sana.

Marpaung berangkat. Semuanya 13 orang. Begitu masuk desa, dia melihat anak-anak muda dan ibu-ibu berkumpul di depan-depan rumah. Bukankah ini jam bertani?

Marpaung meneruskan langkahnya ke rumah keuchik. Begitu sampai, dia memperhatikan seorang pemuda – Zulkarnain? –gelisah, mondar-mandir depan rumah keuchik. Ada serdadu yang iseng menyuruhnya mengambil kelapa. Dia menolak. “Saya tidak bisa manjat,” katanya.

Di rumah keuchik, Marpaung mulai gelisah. Terutama setelah melihat sekelompok anak muda sibuk membabat rumput dekat rumah keuchik. Seorang serdadu juga merasakan hal serupa. Dia tak tahan lagi.

“Kau Pak Keuchik,” katanya setengah menghardik, “Sempat ada tembakan sebentar kau yang pertama saya babat.”

Eh, Kapten Tumito turun ke kampung juga. Dia ingin bertemu langsung dengan keuchik di situ.

“Kamu lapar?” Tumito bertanya ke Marpaung yang memang sedari pagi belum sarapan. Tumito mengusulkan merebus mie di rumah keuchik yang sudah menawarkan kopi.

“Nggak usah. Nggak usah,” jawab Marpaung cepat, sembari menatap wajah komandannya dalam-dalam. Dia ingin mengisyaratkan kegelisahannya. Komandan itu akhirnya paham.

Pasukan kembali ke bukit dengan langkah terburu-buru. Beberapa di antaranya berjalan dengan sesekali melihat ke belakang. Seolah akan ada sesuatu.

Sesampai di bukit, pasukan makan siang. Sembari beristirahat, mereka membicarakan sejumlah keanehan di desa tadi. Menjelang pukul empat sore, ada serdadu yang menyeduh kopi. Marpaung memperingatkan serdadu yang istirahat di bukit. “Eh hati-hati. Kampung sepi sekali. Nggak ada orang.”

Rencananya, pasukan akan bermalam dan keesokan harinya melanjutkan perjalanan ke Pante Ceuremeun. Tahu akan bermalam, Prajurit Satu Bakri dan beberapa serdadu lainnya mulai melepas sepatu. Tiba-tiba datang tembakan dari desa.

“Dududung-dudung-dudung-dududung.” Rentetan senapan AK-47 ke arah bukit mengagetkan seluruh pasukan.

Peluru berterbangan di atas kepala.

Dalam hitungan menit, semua serdadu di bukit tiarap sambil berusaha melindungi kepala, khawatir dijatuhi ranting-ranting kayu yang patah dihantam peluru.

Tembakan setidaknya dari tiga penjuru: dari rumah-rumah penduduk sekitar 70 meter di bawah sana; dari tanggul persawahan sekitar satu kilometer di depan bukit pertama; dan dari rawa-rawa di depan bukit kedua.

“Dududung-dudung-dudung-dududung.” AK terus menyalak.

Selama dua bulan di Aceh, baru kali ini Rajawali 432 mendengar desing amunisi GAM. Prajurit Kepala Hamka yang berada di balik bukit pertama langsung menyembunyikan kepalanya. Dia baru berani mengintip setelah ada jeda tembakan. Mungkin mereka lagi mengisi magazen.

Orang di bukit mulai membalas. Kapten Tumito memperingatkan pasukannya agar tetap merunduk. Dia tak ingin satupun anak buahnya celaka.

“Tunduk kamu…Tunduk! Heeeeee…. Tunduk kamu! Tunduk!”

Peringatan itu tak banyak berbekas. Beberapa serdadu yang telah mengatasi kekagetannya mulai membalas tembakan.

Tembakan kian menjadi, dari bawah dan dari atas bukit.

Kapten Tumito tak henti-hentinya menyuruh serdadu yang berada di bukit kedua untuk merunduk dan menghitung amunisi yang keluar.

“Hitung amunisi. Hitung amunisi.” Perintahnya setengah berteriak.

Baku tembak itu berlanjut hingga pukul tujuh malam. Malam itu semua orang di bukit siaga. Pasukan dibagi. Satu tim di bukit pertama, satu tim di bukit kedua. Di bukit pertama, dipasang tiga Minimi, satu GLM, dan dua SS-1. Satu tim lagi bertahan di bukit kedua yang lebih luas. Tim ketiga dipasang di pebukitan yang sesisi dengan bukit pertama.

Menjelang pukul 10 malam, Kopral Satu Irfan mengusulkan ke rekan-rekannya untuk mendirikan tenda. Langit mendung. Usulnya tak digubris. “Rajawali tak perlu tenda,” kata seorang rekannya. Irfan mulai mempersiapkan ponconya. Siapa tahu hujan. Eh, hujan betul. Sekitar pukul 10 malam hujan keras diiringi kilat mengguyur seluruh pasukan. Beberapa serdadu di bukit pertama merapat-rapatkan badannya ke ponco Irfan. “Katanya Rajawali tak perlu tenda,” kata Irfan menyindir.

Tak ada tembakan hingga pagi harinya.

Begitu terjaga, Marpaung menyuruh bawahannya untuk bergegas sarapan. Dia tak ingin dikagetkan dengan tembakan lagi saat makan. Beberapa serdadu mulai merebus kopi. Tapi belum sempat dicicipi, AK sudah menyalak dari desa.

Awalnya pelan. Lalu, “Dududung-dudung-dudung-dududung.”

Seorang serdadu yang jengkel belum sempat menghirup kopinya berteriak kesal: “Ooii, belum sarapan!”

Ajaib. Tembakan berhenti. GAM sepertinya sarapan juga.

Berselang sebentar, baku tembak kembali berlangsung. Dari desa pagi itu, sebuah teriakan terdengar hingga ke bukit: “Paiiii, lonte kamu! Turun kamu kalau berani. Mana Rajawalimu!?”

Mendengar itu, seorang serdadu berbisik ke temannya. “Itu pasti mantan tentara. Pasti pernah melonte.”

Baku tembak berlanjut.

Tapi pagi itu, orang-orang di bukit banyak yang penasaran dengan pria setengah baya yang berdiri telanjang dada mengenakan ikat kepala putih menenteng AK dan jalan mondar-mandir di persawahan sekitar 70 meter di bawah sana. Mungkin ada sepuluh laras di bukit mengarah ke sana.

Koptu Irfan termasuk yang menyasar lelaki itu. “Tang-tang.” Lelaki berbadan bongsor itu masih berdiri di sana. Entah kemana proyektilnya lari.

“Tang-tang. Tang-tang. Tang-tang.” Tak kena juga. Lelaki itu malah berjongkok di persawahan, merokok, dan memperhatikan orang yang sibuk menembakinya di bukit.

Irfan dongkol luar biasa. Apa salah senjata? Dia mencoba membidik sebuah batang pinang di dekat pria itu. “Tang-tang”. Kena. Senjata yang sudah 14 tahun disandangnya itu, sejak pangkatnya masih Prajurit Dua, kembali diarahkannya ke lelaki itu.

Sasaran sudah selurus pisir dan pijera. Pasti kena.

“Tang-tang.” Tetap tak kena. Tak sedikit pun lelaki itu bergeming. Bagaimana bisa? Padahal saat latihan, tak satu pun pelurunya yang melenceng dari lesan jarak 300 meter.

Irfan penasaran habis. Dia kembali membidik, menembak, membidik, menembak … hingga 30 butir peluru di magazen habis. Pria itu masih sehat berdiri di situ.

Apa yang salah? Irfan tak habis pikir. Prajurit Satu Asri lebih penasaran lagi. Dia salah satu penembak runduk (sniper) terbaik di batalionnya. Tapi, sama saja, tak satupun bidikannya yang kena.

“Memang monyet itu orang. Seumur hidup saya ndak akan lupa,” kata Irfan mengingat kejadian itu pada saya.

Irfan masih tak puas. Dia ingin melihat reaksi pria itu ditembaki TP. Kebetulan, dia membawa TP Anti Tank. Sudut elevasinya sudah diatur tepat. “Siiiiiuuutttttt … blanggggggg.”

Dari tempatnya berdiri, Irfan dapat merasakan tanah di kakinya bergetar.

Tujuh puluh meter di depan sana, lelaki itu masih berdiri menenteng AK di tempatnya semula. TP yang ditembakkan Irfan mengenai pohon pinang sekitar satu meter dari tempat pria bercelana hitam itu berdiri.

TP meledak di atas kepalanya tapi dia tidak lari!? Kurang apa lagi? Sudah pisir pijera … Kenapa? Apa sholat tahajud malamnya?

Dia perlahan mundur dan berlindung di balik tumpukan batang kelapa.

Hamka menyasar perlindungan itu dengan GLM.

“Ciiiuuuu … blang.” Hamka menikmati suara granat yang lepas dari moncong senapannya dan menggelegar begitu menyentuh tanah.

“Makan itu GAM,” teriaknya dari atas bukit.

Dia terus menghantamkan granat ke beberapa titik asal tembakan. Satu kali dia mendengar ada yang berteriak “Allahu Akbar.” Hamka yakin ada yang kena.

Tiga pucuk Minimi di atas bukit tak mau ketinggalan. Mereka yang tiarap di balik bukit kedua juga terus memberi tembakan balasan.

Baku tembak berlanjut hingga sore harinya.

Malam harinya, halilintar dan hujan menyambar-nyambar. Banyak serdadu yang basah kuyup karena tak membawa ponco. “Memang jadi ilmunya GAM,” kata seorang serdadu yang percaya hujan dua malam itu “kiriman” GAM.

Menjelang subuh hari ketiga, Daulat Marpaung memimpin 25 orang serdadu masuk ke desa. Dia ingin memenuhi tantangan GAM.

Ketegangan tampak di wajah mereka yang ditunjuk. Bagaimana jika GAM telah menanti?

Dua orang prajurit ditunjuk jadi force speed. Pasukan jalan sangat lambat. Nyaris merayap. Selangkah berhenti. Selangkah berhenti. Mereka bergerak rapat. Setiap kali akan melangkah, orang yang di depan menepuk pundak orang di belakangnya.

Saat mendekati jembatan, seorang prajurit satu sudah tahu apa yang harus dilakukannya sebagai force speed. Dia harus mengecek kemungkinan GAM telah menanam bom di situ. Tangannya meraba-raba aspal jembatan hingga menyentuh sebuah benda. Panas. Tapi kok … “Pukimae.” Dia bersungut-sungut menyumpahi tahi sapi yang dipegangnya.

Begitu terang tanah, mereka sudah di desa tanpa diketahui siapapun.

Seisi kampung sudah mengungsi. Pasukan leluasa menggeledah rumah-rumah yang mereka curigai.

Di sisi kanan jalan, Hamka melihat seseorang menenteng AK.

“Batiiiiii,” bisiknya memanggil seorang bintara pelatih di dekatnya, “GAM. GAM!” Hamka menunjuk-nunjuk orang yang berdiri sekitar 70 meter di depan sana.

“Bagaimana? Saya tembak?” Hamka memain-mainkan telunjuknya di picu. Izin tak keluar. Komandannya ingin tangkapan banyak.

Sayang, tim yang bertugas menggeledah rumah di sebelah kiri berisik. Bunyi pintu rumah keuchik ditendang sampai ke telinga orang itu. Dia baru sadar kalau pasukan sudah masuk ke desa.

Baku tembak dari jarak dekat tak terhindarkan. Pemisahnya hanya halaman rumah dan sedikit persawahan. Dari pagi hingga sore.

Pasukan bertahan di desa hingga hari keempat. GAM sudah mundur. Kabarnya berkekuatan 70 orang. Sebagian yang mereka lihat menggunakan seragam loreng dan hitam-hitam. Ada yang meyakini kalau yang berpakaian loreng itu dari Pidie sementara yang hitam didikan Libya dari wilayah Jeuram.

Di hari keempat, logistik habis. Tak ada lagi yang punya biskuit atau nasi kaleng. Terpaksa, TB-3 dimainkan. TB-3 adalah istilah serdadu untuk kelapa milik penduduk. Pasukan akhirnya kembali ke Lhoksari pada 14 Mei 2002.

Sehari setelahnya, mereka membaca di Serambi Indonesia keterangan seorang juru bicara GAM kalau ada sembilan orang tentara yang tewas dalam pertempuran di Bukit Tengkorak.



V

TENTARA punya istilah khas berburu GAM di hutan-hutan Aceh: masuk kolam mencari ikan. Sekiranya diizinkan ikut, saya diminta menyiapkan perlengkapan standar masuk kolam seperti matras, ransel serbu, seeboo, kaos tangan. Paling tidak, saya harus punya baju dan celana berwarna gelap.

Tapi dari semua itu, demi keselamatan, saya disarankan meminjam barang yang namanya rompi anti peluru. Tentara biasanya punya cadangan. Memakainya akan membuat orang merasa aman. Ini juga bagus dipakai supaya kita tak terlihat seperti bondo nekat masuk hutan.

Ada dua lempengan baja di rompi itu. Satu letaknya di depan dada dan satu di punggung. Masing-masing beratnya 10 kilogram. Saya selalu mencopot lempengan baja di punggung. Terlalu berat. Kalau matahari menyengat, lempengan-lepengan itu akan berubah menjadi setrika. Saat hujan, ia berubah bentuk menjadi balok-balok es. Dingin, menusuk sampai tulang.

Pertama kali mencobanya, perut saya sakit. Serasa mau kencing tiap menit. Pasalnya, lempengan baja di dada itu menekan-nekan perut. Saya terlalu tegang untuk memeriksa kalau lempengan baja di rompi itu bisa disetel-setel posisinya. Posisi yang benar adalah mesejajarkan bagian atas lempengan baja dengan tulang dada.

Banyak serdadu yang juga mencopot plat baja belakang. Beban mereka sudah berat. Jika masuk kolam selama 15 hari, di punggung mereka menggantung ransel 25 kilogram -- untuk mudahnya, bayangkan Anda menggendong segalon air selama dua minggu. Itu ditambah SS-1 yang beratnya sekitar lima kilogram. Yang membawa Minimi lebih siksa lagi. Senapan otomatis itu beratnya sampai 15 kilogram.

Sekali waktu saya sempat kheki karena urusan rompi itu. Ceritanya, kami lagi mengendap di pinggir hutan karet. Saya gerah dan ingin melonggarkan rompi yang melilit badan. Perekatnya saya lepas pelan-pelan. Kraakkkkkkkkkkk … Kraakkkkkkkkkkk … Kraakkkkkkkkkkk …. Semua mata tertuju ke saya hingga rompi tanggal dari badan. Dengan isyarat dari jauh, seorang letnan dua mengajari saya cara melonggarkannya tanpa harus membangunkan seisi hutan.

Soal makanan selama masuk kolam, saya diminta tak khawatir. Tentara punya aneka ransum. Saya paling suka dengan TB-1. Satu bungkus isinya 12 keping biskuit kering. Ini makanan perang bintang tiga kendati ada serdadu dari Makassar yang menyamakannya dengan kanre kongkong (makanan anjing). Rasanya memang anyep. Tapi makan pagi sebiji saja, perut sudah bisa terganjal sampai sore.

Biskuit ini pas dengan teh panas. Praktis dibawa kemana-mana. Sekali jalan ke hutan, saya sanggup menghabiskan sekotak. Medio September silam, saya terkejut membaca informasi yang tertera di kemasannya. Biskuit yang saya makan dan dibagikan ke seluruh serdadu di Aceh Barat ternyata “Produksi Bulan Juli 2001. Berlaku sampai Juni 2002 … Jangan dimakan bila terdapat kelainan warna, bau, rasa, dan berjamur.”

Serdadu-serdadu itu banyak yang tak memperhatikan kalau itu sudah kadaluwarsa. Atau mungkin tahu tapi acuh. Mau apalagi kalau perut lapar dan sudah tak ada yang bisa dimakan?

Saya juga suka dengan ransum yang namanya T2FD. “Nasi bantal” istilah sebagian serdadu. Kalau nasi di dalam plastik kemasan itu—ada rasa soto ayam, ada rasa gule—disiram air panas dan dibiarkan tertutup hingga 15 menit, plastiknya akan menggelembung seperti bantal bayi. Enak dimakan panas-panas. Tapi jaga-jaga saja. Soalnya kalau (maaf) kentut, baunya sengit. Entah kenapa.

Tapi selapar apapun di dalam kolam, saya tak pernah tertarik menyentuh yang namanya TB-2. Ini nasi kalengnya tentara. Macam-macam jenisnya. Ada rasa gudeg, ada rasa kari ayam pedas. Masing-masing dikemas dalam kaleng seukuran mie instan. Sebelum dimakan, sebaiknya direbus atau dibakar dulu. Biar enak lewat di tenggorokan.

Biar begitu, rasanya tetap … yakkkk. Ada serdadu yang baru mencium baunya sudah muntah. Saya hanya tahan dua suap. Sudah itu, rasanya di tenggorokan baru bisa hilang setelah disiram kopi seharian.

Hanya segelintir serdadu yang senang makan TB-2. Saya mengenal seorang serdadu Rajawali yang sanggup menghabiskan ransum itu sekali duduk dengan air minum hanya beberapa teguk.

Mungkin dia sudah terbiasa. Dia dua kali ditugaskan di Timor Timor dan dua kali di Papua. Pangkatnya masih kopral satu. Umurnya 34 tahun. “Mungkin saya yang paling tua di tamtama,” katanya, “Tapi semangat boleh lawan. Saya ndak mau kalah. (Junior) harus malu kalau koptu bisa naik gunung sementara prada loyo-loyo. Saya kasih malu mereka itu kalau sudah di atas.”

Suatu malam, saya ikut gerak bersamanya ke pelosok Patek, sekitar 130 kilometer dari Banda Aceh. Gerakannya lincah, tapi senyap. Sepertinya dia punya mata cadangan di kegelapan malam. Dia tak pernah tersandung. Dia pemburu yang lihai.

Ada keresek sedikit saja, langsung didekatinya. Malam itu, saat melintas di dekat rawa, dia buru-buru membuka kunci senapannya. Saya kira sudah ada GAM yang menunggu kami di situ. Uh, untungnya hanya babi hutan.

Sampai siang keesokan harinya, gerak pasukan nihil. Tak ada GAM yang dijumpai. Dia kesal bukan main.

Kopral itu sanggup tidur di medan apapun. Di atas rawa basah, di bebatuan hanya dengan menggelar rompi baja sebagai alas tidur dan sekaligus bantal. Di situ saya mengajaknya berdiskusi soal penyekolahan tawanan. Saya anggap dia dengan segudang pengalamannya akan lebih memberikan gambaran yang lebih jelas.

“Kenapa tidak diserahkan ke polisi saja? Polisi membuat BAP (Berita Acara Pemeriksaan), diserahkan ke pengadilan dan pengadilan memberi hukuman yang setimpal (kalau memang bersalah)?”

“Kalau diserahkan ke polisi,” katanya dingin, “Ya sama saja (nasibnya).”

Dua-tiga hari sebelum kami berkenalan, dia baru menghantamkan balok 8x12 sentimeter ke kepala seorang tawanan. Setelahnya, dia menawarkan ke beberapa juniornya untuk menyekolahkan tawanan yang “nyawanya tinggal sedikit” itu.

Tak ada yang menyambut.

“Ada yang sampai pergi sembahyang,” katanya.

Dan itu membuatnya heran. Menurutnya, “Tuhan Mahatahu … Dia (tawanan) itu sudah mengancam nyawa puluhan orang. Membuat anak-anak tidak bisa sekolah. Dia ikut menghadang konvoi 432 di Geurutee. Ada serdadu yang korban. Sekarang masih di rumah sakit pusat Gatot Subroto.”

Tawanan yang kami bicarakan itu namanya Maimun. Dia ditangkap setelah ada bapak yang melapor ke SGI (Satuan Gabungan Intelejen) karena diancam akan dibunuh jika tak menyerahkan dana perjuangan GAM. Belakangan, Ayah Lian ditemukan mati terbunuh. Nama Maimun disebut-sebut.

Mainum ditangkap saat main bola volley. Awalnya, tak ada serdadu yang tahu wajahnya. Warga di situ tak ada yang mau buka mulut. Serdadu jengkel. Setelah direntet tembakan ke arah kaki, barulah mereka menunjuk hidung Mainum.

Mainum digiring ke pos. Seorang pemuda datang melihatnya. Dia bercerita kalau betul Maimun yang membunuh ayahnya. Mainum berkilah. Katanya, dia memang ada di tempat saat pembunuhan terjadi, tapi bukan dia yang melakukannya.

“Itu lagu lamanya GAM. Kalau ditangkap jadi suci sekali.”

Saat ditahan di sebuah pos, saya melihat Mainum dikerumuni sejumlah serdadu. Saya menyesal tak berani turun dari truk dan melihat langsung wajah pemuda jerawatan itu. Dua tiga hari setelahnya, seorang serdadu bercerita ke saya kalau Mainum sudah disekolahkan. Mayatnya dibuang ke daerah Lageun.



DI Aceh, tugas utama mencari ikan di kolam-kolam tanggung jawab Pasukan Pemburu Rajawali. Ini tentaranya tentara dengan kualitas fisik prima yang memang khusus dilatih untuk mengejar GAM. Mereka didoktrin untuk rajin jalan, waspada, dan jeli.

Ada yang menyebutnya Pasukan Sayap Lebar. Isinya gabungan serdadu Kostrad dan Kopassus. Saat ini, sekitar 2.000 orang Rajawali di Aceh disebar dalam lima datasemen tempur dari hanya dua datasemen pada 1999.

Naluri tempur mereka di atas rata-rata. Mereka dibekali latihan militer yang sebelumnya hanya dinikmati serdadu Komando Pasukan Khusus (Kopassus) seperti mengesan jejak (pelatihnya antara lain orang Dayak), sermujam (serangan amunisi tajam), mobud (mobil udara), dan perang rawasuntai (rawa laut sungai dan pantai).

Rajawali terbiasa bergerak dengan jumlah kecil. Satu regu, 8 sampai 12 orang. Jika ada pasukan yang jalan di hutan-hutan Aceh membawa ransel besar, bisa dipastikan itu Rajawali. Jika Anda melihat tentara yang berbelanja di pasar-pasar Aceh dengan dompet terbungkus plastik atau tidur dengan sarung sambung (dua sarung dijahit jadi satu), itu pasti Rajawali.

Mau tahu isi ranselnya? Jika hendak masuk kolam lebih dari seminggu, biasanya di setiap ransel itu ada satu stel pakaian loreng cadangan, kaos kaki 2 sampai 3 pasang, celana dalam sebanyak-banyaknya, kelambu kepala, matras kedap air, dan sarung sambung.

Untuk logistik, mereka menyiapkan 2 kilogram beras per orang, ikan kering ½ kg, supermie 30 bungkus, kecap botol kecil, saos botol kecil, minyak goreng botol kecil, bawang, terasi, sendok, piring dan gelas plastik, garam, gula, kopi atau teh.

Selain itu, masing-masing serdadu membawa tali perorangan 10 meter dan tali tubuh 5 meter. Tali itu diperlukan kalau misalnya pasukan harus berenang di sungai deras atau meluncur dari ketinggian tebing. Bintara pembawa radio biasanya menambahkan 20 biji baterai cadangan ke ranselnya.

Jika ditotal-total, beratnya ransel bisa mencapai 25 kilogram. Berat, cukup membuat bahu keple dan kulit terkelupas. Bila beban berat, jarak yang mereka tempuh relatif dekat. Untuk 10 hari, mereka ditargetkan memeriksa sasaran duga yang total jaraknya 10 km. Praktis dalam sehari, pasukan hanya jalan 1 km. Demi kehati-hatian, seringkali jarak 100 meter ditempuh hingga satu jam.

Sekalipun rutenya pendek, tapi medan di Aceh Barat seringkali tidak mendukung. Untuk sampai ke sasaran, mereka kadang harus menggergaji beberapa bukit, berenang di sungai lebar, dan masuk rawa.

Dan kalau sudah rawa atau sungai, alamak … siksanya luar biasa.

Saya pertama kali masuk rawa di Pelanteu, Kecamatan Kaway XVI. Rawa itu baru bisa ditembus setelah jalan dua jam. Namanya jalan di rawa yang tak ada hembusan angin dan ada plat baja 10 kilogram di dada, badan jadi keringatan. Peluh menetes dari setiap pori, di kepala, di belakang telinga …. Bila itu berlanjut, tetesannya akan membuat mata perih. Jalan makin jauh, keringat sudah tidak asin lagi. Badan ini sudah kekurangan cairan.

Para serdadu seperti tak mempedulikan lagi badan yang tenggelam hingga dada di rawa. Mereka berkonsentrasi menjaga agar SS-1 tidak masuk lumpur. Senjata mereka akan macet kalau kena lumpur atau terendam air.

Gerak mereka jadi lebih lambat. Hanya Tuhan yang tahu apa jadinya kami jika ada gerilyawan GAM yang menghadang di rawa itu. Soalnya, mau sembunyi di mana? Tidak ada perlindungan yang aman di tengah rawa.

Soal lintah tak usah ditanya. Lintah ada di sela-sela jari kaki, di betis, di paha, di perut, di selangkangan, dan bahkan menempel di penis. Kalau sudah mengisap darah, dia baru jatuh kalau sudah menggelumbung sebesar jempol kaki dari hanya seukuran satu ruas kelingking.

Tapi siapa sangka, di tengah hutan rawa itu ada markas pembuatan senjata rakitan GAM. Di situ ditemukan puluhan senapan rakitan setengah jadi, ratusan bendera dan kartu anggota GAM. Di antara empat gubuk pembuatan senjata itu, tentara menemukan seperangkat komputer, printer dan genset. Saya tak habis pikir bagaimana GAM mengangkat genset raksasa itu melewati rawa.

Mereka tinggal di empat gubuk yang letaknya berdekatan. Gubuknya memang memprihatinkan. Saya kira orang yang tinggal disitu termasuk di antara mereka yang meyakini kalau Aceh merdeka tinggal sebatang rokok lagi. Tiang-tiangnya dari batang-batang kayu seukuran betis anak kecil. Atapnya dari daun rumbia. Nyamuknya tak usah ditanya. Markas itu punya sistem pengamanan berlapis. Ada tiga pos tinjau yang masing-masingnya memiliki pemancar radio.

Melihat barang-barang yang berceceran di gubuk itu saya kira ada beberapa remaja yang tinggal di situ dan melarikan diri begitu tahu ada tentara. Saya menemukan banyak bungkus rokok Marlboro, botol splash cologne, minyak rambut, dan lain-lain. Saya juga menemukan selembar kartu nama John Aglionby, koresponden harian The Guardian untuk wilayah Asia Pasifik.

Selesai masuk rawa, telapak kaki jadi pucat. Kerutan itu baru bisa hilang setelah dua hari. Saat itu saya memakai sepatu larsa. Larsanya kesempitan. Untuk ukuran kaki 42 mestinya laras nomor 7 sementara laras yang saya pakai nomor 6. Jadinya, kaki terkungkung. Tumit lecet dua-duanya. Lecetnya bersusun-susun. Luka di atas luka.

“Ah, itu belum biasa saja,” kata seorang serdadu menertawakan.

Masak dan makan bersama adalah hiburan satu-satunya bagi Rajawali selama masuk kolam. Serdadu biasanya masak dengan misting. Satu misting –seukuran dua batu bata ditumpuk– untuk empat orang. Apinya lebih sering pakai kayu bakar (mereka jarang dapat pembagian parafin). Masaknya hanya pagi dan sore. Supaya asapnya tak mencolok, di atas misting ditutupi dahan biar asapnya menyebar.

Kalau pagi, supermie jadi sayurnya. Kalau ada bayam yang ditemui di kebun orang kampung, pakai bayam. Kalau ada tewel (nangka muda) dan kelapa, menu sedikit membaik. Kepala diparut untuk diperah santannya dan dimasak dengan nangka muda. Parutnya pakai kaleng sarden yang dilobang-lobangi dengan paku. Ikan keringnya digoreng di atas wajan kecil. Untuk mengulek sambel, terasi bakar dan cabe dimasukkan ke kaleng sarden dan digerus dengan kayu.

Makan saat begitu sedap, bisa sampai keringatan. Semua memang enak kalau perut sudah keroncongan.

Serdadu Indonesia kalau tak merokok sehabis makan mukanya sumpek. Kalau rokok sudah habis, akal mereka jadi panjang. Serbuk teh digulung dengan kertas apa saja sebagai pengganti rokok. Mengepul juga.

Urusan minum, biasanya 2 sampai 3 gelas dipakai untuk semua mulut. Mereka sudah biasa dan itu urusan kecil.

Kalau ada teman sakit parah di kolam, semuanya merawat. Ransel si sakit dicopot dan isinya dibagi rata ke yang sehat. Sakitnya Rajawali tak jauh-jauh dari tipus, turun bero, bahu keple, dan gatal-gatal.

Jika BOD (Basis Operasi Depan) pindah, Anda sukar menemukan jejak Rajawali. Semua sampah ditanam. Bekas galiannya ditutupi dedaunan sehingga tanah di situ seperti tak pernah diinjak laras saja.

Kalau di tengah hutan Aceh Anda mendengar SS-1 menyalak dua-dua kali, itu tembakan khas Rajawali. Kalau ada “Purpa” (Pertemuan Perjumpaan), setiap serdadu akan mengejar sasaran seperti orang kesurupan.

“Ciiiiihuuuyyyy- Ciiiiihuuuyyyy- Ciiiiihuuuyyyy- Ciiiiihuuuyyyy- Ciiiiihuuuyyyy- Ciiiiihuuuyyyy ….” Sambil berteriak, mereka akan berlari zig zag, mendekat ke arah sasaran. Tapi larinya hanya sebentar-sebentar. Tiga detik tiga detik. Mereka mengantisipasi musuh yang bisa membidik sasaran hanya dalam tempo tiga detik.

Sekali masuk kolam, Rajawali kadang tahan sampai 15 hari. Selama itu mereka diharamkan jalan di jalan setapak apalagi beraspal. Mereka dilarang bertemu penduduk. Selama itu, mereka akan mengecek setiap sasaran-duga yang sudah digariskan dalam perintah operasi. Kadang, mereka akan mengendap di tempat-tempat tertentu yang berdasarkan informasi intelejen sering dilewati GAM.

Sebelum pengendapan, separuh regu sudah masuk melakukan pengintaian medan, sore harinya. Separuh kekuatan masuk. Menjelang malam, separuh dari serdadu yang berangkat mengintai medan kembali menjemput sisa pasukan.

Di tempat pengendapan, biasanya di pinggir desa, mereka akan membuat formasi bersaf. Ujung empat orang, tengah empat orang, ujung satu lagi empat orang. Ujung ke ujung disambung dengan tali. Tali itu jadi sarana komunikasi utama selama pengendapan yang wajib hukumnya senyap dan tak boleh ada cahaya.

Anda jeli kalau lewat di depan tempat pengendapan dan tahu kalau tiga-empat meter dari tempat Anda berdiri ada serdadu yang tengah membidikkan larasnya ke wajah Anda. Mereka memang dibekali cat wajah untuk penyamaran. Warnanya ada yang hitam, cokelat, abu-abu, dan hijau.

Rajawali bukan barang asing bagi seisi hutan. Kalau lagi mengendap, burung pun kadang lupa kalau yang dihinggapinya itu punggung manusia. Rajawali dikenal dengan kesabaran dan keuletannya. Mau panas mau hujan, mereka akan tetap di tempat pengendapannya sampai ada perintah pemindahan BOD.

“Hujan kawan. Panas kawan,” kata seorang serdadu menirukan doktrin prajurit infanteri.

Rajawali telah dididik untuk menembak tepat: titik-bidik-titik-kena. Latihannya banyak. Ada tembak jarak, ada tembak reaksi. Tembak jarak, mereka dididik untuk menembak sasaran berdasarkan aba-aba pelatih. Saat pelatih meneriakkan “Dua 50” misalnya, serdadu mesti menembak sasaran 50 meter dari posisinya, arah jam 2. Ya, kurang lebih mirip lah dengan gaya jejaka kota membisiki rekannya kalau ada gadis cantik yang berdiri di sebuah tempat.

Tembak reaksi lain lagi. Di sini mereka dilatih menembak skip bergerak dan statis, muncul sesaat lalu tenggelam. Skipnya selalu tiga berdampingan: pak haji, pemuda berpakaian loreng dan perempuan berjilbab. Salah satu dari tiga orang itu bersenjata. Hanya mata yang awas yang bisa menembak tepat. Salah dihukum. Hukumannya, menembak lisan (pakai suara mulut) hingga amunisi dalam dua boks peluru habis. Satu boksnya sekitar 1.500 amunisi.

Seorang kopral kepala yang pernah ikut pendidikan Rajawali tahun 1995 bercerita kalau saat latihan dulu Prabowo Subianto menyediakan tiga truk amunisi tajam. Katanya, biaya latihan untuk 2.000 orang waktu itu sampai Rp 5 miliar. “Memang yang harus jadi pimpinan di militer itu orang kaya.”

Bagi pasukan Rajawali, orang Kopassus utamanya, menembak dengan peluru tajam bukan hal asing. Tiap hari di markas latihannya ya itu: menembak, menembak, dan menembak. Kalau tidak menembak sambil tiarap, ya menembak sambil duduk, atau menembak sambil berdiri, atau menembak sambil berlari. Seorang prajurit Kopassus sampai bilang ke saya, “Mas kalau ada keluarga yang mau dagang tembaga datang saja ke Serang. Selongsong di sana tinggal disekop.”

Sebenarnya, batalion kerangka yang diberangkatkan ke Aceh juga mendapat pelatihan menembak. Hanya saja mereka hanya diberi bekal beberapa lusin peluru hampa. Kalau itu habis, menembak kadang pakai mulut: “Dor-dor-dor.”

Ada yang latah. Seorang bintara bercerita ke saya kalau ada anak buahnya yang nyaris menembak GAM. Sasaran sudah segaris dengan pisir-pijera. Kunci senapan sudah dibuka. “Dorrrr” Yang ditembak tidak apa-apa. Dia hanya terkejut mendengar suara tembakan seperti saat latihan perang-perangan.

Bukan Rajawali kalau tidak hapal yel-yel dan mars Rajawali. Mereka biasanya meneriakkan yel-yel dan mars itu saat latihan atau sehabis mendapat pucuk. “Uh, gembiranya sukar dilukiskan,” kata seorang Sersan Satu yang bersama anak buahnya pernah mendapat sepucuk Gerund.

Marsnya singkat: “Majulah Satgas Rajawaliiii / Kembangkan sayap-sayapmu / Dideru angin / Diterpa badai / Diterjang peluru / Tak gentarrrrr jiwa kamiiii / Rajawaliiii … Rajawaliiii. Hei!”

Tapi saya kira Anda akan tertawa kalau melihat melihat mereka meneriakkan yel-yel Rajawali. Ini perpaduan suara keras, kepalan tangan dan sedikit kelenturan jemari. Pertama, dengan tangan terkepal, mereka akan meninju langit dua kali diiringi teriakan: “Rajawali! Rajawali!” Lalu dengan tangan kiri mereka melakukan hal serupa sambil berteriak: “Pemburu. Pemburu.” Setelah itu, mereka akan mengayunkan tangan kanan dua kali dengan bergetar-getar, meniru kepak sayap burung Rajawali, dan diiringi teriakan: “Ciiiihuuyyy, Ciiiiihuuuyyy.” Sudah itu, tangan kanan yang sama disentak ke bawah disertai teriakan “Merah Putih, Yes!”

Untuk mengetahui apakah yel-yel itu sudah dilantunkan dengan benar, komandan biasanya hanya melihat urat leher serdadu. Kalau sudah menonjol, itu artinya teriakannya sudah pas. Kalau belum, ulangi sampai bisa.

Mereka yang pernah ikut pendidikan Rajawali akan menempelkan brifet Rajawali di seragamnya. Brifet itu bergambar burung Rajawali memegang sebilah pedang dengan mata merah. “Brifet ini pakainya saja yang gagah. Tapi tugasnya … Alamak ….”

Jadi prajurit Rajawali memang susah apalagi kalau komandannya gemar FC (full contact). Saya pernah bertemu seorang komandan pos Rajawali yang sikapnya membuat 30 orang anak buahnya tak pernah bisa istirahat tenang dalam seminggu. “Di pantatnya seperti ada paku. Maunya masuk kolam terus,” kata seorang serdadu.

Sayang, saya tak bisa akrab dengan komandan itu. Persoalannya sederhana. Dia alergi melihat di leher saya selalu tergantung kartu pers. “Tutup-tutup ini … Saya risih banyak pelanggaran HAM,” katanya saat saya duduk di dekatnya suatu waktu.

Entah pelanggaran hak asasi mana yang dimaksudkannya. Tapi dari seorang anak buahnya, saya mendengar cerita ini:

Suatu malam pasukannya mengendap di wilayah Babah Aweh, Kecamatan Jaya. Ada tiga orang yang melintas di tempat pengendapan. Mereka terkejut begitu tahu ada belasan tentara yang tiarap di pinggir jalan.

Saat disuruh berhenti dan angkat tangan, ketiga orang itu segan melakukannya. Pelan-pelan mereka mundur ke bahu jalan. Salah seorang di antaranya berusaha meraih sesuatu di kantong plastik yang dijinjingnya. Belum sempat, tembakan menggema.

Keadaan gelap. Yang tidak melihat dengan baik ketiga orang itu ikut menembak.

Tembakan berhenti. Begitu didekati, ternyata masih ada seorang yang hidup. Tak ada setitik pun badannya yang lecet akibat tembakan beruntun tadi. Rupanya, dia menenggelamkan badan di gundukan tanah di pinggir jalan.

“Sekolahkan saja. Siapa yang mau?” komandan peleton itu menawari anak buahnya. Dia yakin ketiga orang itu GAM. Di kantor plastik tadi anak buahnya menemukan sebuah pistol rakitan.

Dari belakang, seorang serdadu muda bergegas. “Danru … Danru … biar saya.”

Tawanan itu diminta berjongkok. Sebutir amunisi menembus kepalanya, dari dekat. “Crook … Crookk.” Darah muncrat dari kepala. Mengira masih hidup, serdadu muda itu mengarahkan larasnya ke punggung korban. “Tak-tak-tak.” Tiga amunisi 5,56 mm bersarang.

Setelahnya, komandan regu meminta serdadu muda itu untuk mencicipi darah orang yang ditembaknya. Ada kepercayaan di kalangan tentara (dari Makassar) bahwa mencicipi darah orang yang telah dibunuh akan menghilangkan bayang-bayang wajah korban yang bakal menghantui.

Saat pulang ke pos, serdadu muda itu mengeluh ke komandan regunya.

“Danru, perut saya mual.”

“Kau minum apa tadi?”

“Darah itu,” katanya seraya menunjukkan ukuran darah yang diminumnya: dua genggaman tangan.





VI

TENTARA di Aceh tinggal di pos-pos sepanjang jalan provinsi. Jaraknya cukup rapat. Kendati belum dapat menyamai kerapatan pos tentara di Timor Timur dulu. Di sana, setiap tiga desa ada satu pos tentara. Sementara di Aceh ini, satu pos kadang bertugas mengamankan belasan desa.

Tiap pos punya nama tersendiri. Dalam percakapan radio, pasukan Rajawali di Aceh Barat menamai posnya dengan istilah-istilah langit seperti Halilintar dan Pelangi. Yang pasukan kerangka meminjam nama-nama hewan penghuni kebun binatang seperti Serigala, Cobra, dan Arwana.

Sekeliling pos dibalut dengan boks pengaman. Ada yang terbuat dari papan dan sela-selanya diisi tanah uruk atau pasir. Tingginya rata-rata satu meter dengan ketebalan setengah meter. Selama bukan mortir atau granat, ia mampu meredam laju proyektil apa saja.

Saya pernah melihat pos tentara yang dipagari dengan potongan-potongan batang kelapa setinggi dua meter. Sudah dipagari dengan batang kelapa luar dalam, sela-sela boks ditimbuni pasir pula.

Awalnya, saya kagum dengan kekuatan orang pos. Memancang batang pohon kelapa sedalam siku dan menguruki sela-selanya bukan pekerjaan ringan. Tapi setelah melihat proses pembukaan sebuah pos, saya jadi tahu kalau selalu ada keringat masyarakat yang ikut bercucuran. Makin besar boksnya, makin banyak peluh yang menetes. Orang pos kadang mengerahkan dua-tiga desa untuk itu.

Dengan segala kekurangannya, serdadu Indonesia memilih menggunakan kata “villa” untuk menyebut pos yang mereka tinggali. Kalau Villa sudah diberi boks pengaman, mereka menetapkan di bagian mana pos jaga didirikan dan lalu menyusun alarm stealing. Denah ini berisi ilustrasi kemungkinan dari mana datangnya serangan.

Urusan Villa beres, perhatian tentara beralih ke kendaraan. Ini bukan dibuat-buat. Hampir semua tentara di Aceh pernah merasakan penghadangan di atas kendaraan. Yang teranyar terjadi medio Oktober silam, menimpa dua kompi Kopassus dari Grup II Solo yang melintas di Aceh Barat untuk penugasan di Aceh Selatan.

Namanya pasukan baru datang ke Aceh (saya kira ini pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta sana), kesiagaan mereka sudah terlihat dari pakaiannya. Masing-masing mengenakan helm dan rompi baja dengan motif darah mengalir. Khas Kopassus. Di bak mobil, laras-laras menonjol kaku ke segala arah kemungkinan datangnya tembakan.

Tapi GAM sepertinya tak ambil pusing. Saat konvoi melintas di kawasan-sering-penghadangan Krueng No, GAM memuntahkan sebelas-duabelas kali amunisi AK-47. Orang komando membalasnya dengan menembakkan 10 biji TP. Tak ada lagi AK yang menyalak dari kejauhan sana.

Mereka memang tidak dihadang, hanya diganggu. Ini sambutan khas GAM untuk setiap pasukan yang baru datang. Dan gangguan itu sudah cukup meninggalkan kesan mendalam pada pasukan yang belum sehari menginjakkan kaki di bumi Serambi Mekah.

Sekitar dua jam setelahnya, saat konvoi melintas di Calang, seorang serdadu menertawakan rekan-rekannya yang “tinggal helmnya saja yang kelihatan dari jalan.” Saya kira dia juga menertawakan dirinya sendiri, menertawakan kecemasannya saat dihadang GAM pertama kali datang ke Aceh.

Seringnya penghadangan membuat tentara seolah berlomba melapisi kendaraannya dengan baja. Ada banyak macam kendaraan tentara di Aceh. Yang paling sering saya naiki adalah truk buatan Mercedes Benz. Mobil ini bekerja dengan sistem hidrolik. Kalau tekanan angin di mesin kurang, dia jadi onggokan besi. Tak bisa diapa-apakan. Stir, gas, stater … semuanya terkunci.

Panjang bak truk lima meter, cukup untuk mengangkat satu peleton serdadu. Bila ditambah dengan panjang kabin supirnya, totalnya mencapai tujuh meter dengan lebar 2,5 meter. Dari tanah hingga terpal truk, tingginya ada tiga meter. Baknya sulit dinaiki. Tingginya sedada orang dewasa. Kalau di bak tidak ada pijakan kaki, Anda perlu berpegang ke seseorang di atas untuk naik.

Setelah dilapisi baja, berat mobil bertambah dua kali lipat menjadi sekitar 10 ton. Ban cepat kalah. Truk jadi sukar bermanuver di jalan sempit.

Saya sempat melihat metamorfosis sebuah truk Mercedes Benz yang dari Jawa hanya diselimuti baja tiga milimeter. Baja itu tak cukup tebal. Jika mobil dalam keadaan diam, dia bisa dijebol proyektil AK-47 dari jarak sekitar 200 meter.

Setelah di Aceh, pelan-pelan ketebalan baja truk ditambah. Dari 3 mm menjadi 8 mm tiga bulan kemudian. Semua bagian vital truk seperti tangki bahan bakar, ruang mesin, dan tangki angin dilapisi baja. Bahkan seandainya ban bisa dibaja, saya yakin itu juga akan dibaja.

Baja yang paling tebal biasanya dipasang di kabin supir. Saya lihat ada yang sampai 10 milimeter. Kalau sudah dibaja, truk seperti ganti kulit saja. Orang Jerman yang membuatnya mungkin akan sukar mengenalinya lagi.

Persoalan baru bagi orang di kabin. Pembajaan hanya menyisakan sedikit lubang bagi supir dan pembantu supir untuk mengintip jalan di depan. Lubang intip hanya seukuran dua batu bata disambung. Masing-masing satu di depan supir dan keneknya. Kadang lubang intip supir dimodeli seperti alis. Tapi tetap saja, pandangan mereka terbatas. Supir dan keneknya tak dapat melihat jarak tiga meter dari bumper. Untuk melihat kaca spion kanan, supir di kiri hanya bisa mengandalkan mata kenek. Pokoknya, kenek tidak bisa berleha-leha.

Persoalan lainnya jika ada kerusakan di bagian radiator depan, montir akan susah menjamah bagian-bagian dalam. Geraknya dibatasi lempeng baja yang hanya bisa dilepas jika dipotong dengan las. Sebuah pekerjaan maha besar. Sirkulasi udara di dalam kabin ikut rusak karena baja itu. Supir dan kenek kegerahan setiap kali jalan siang.

Selain Mercedes Benz, tentara punya truk Unimog dan Reo. Dari segi perwajahan kabin, Mercedes yang potongannya kaku seperti balok kalah dari Unimog. Yang terakhir seperti peranakan biawak. Mulutnya panjang. Segala jenis medan, truk ini bisa jalan. Jalan menanjak oke, lumpur dan rawa selutut boleh tahan.

Dari ujung ke ujung, panjang Unimog sekitar lima meter. Dimuati 20 serdadu dia kelimpungan.

Kalau jalan di sawah, Unimog meliuk-liuk seperti biawak. Pernya pakai per keong. Persenelannya delapan. Sekali dorong gigi, mesti empat supaya melaju. Seperti Mercedes, mesinnya mengandalkan tekanan angin. Macet sedikit di situ, berabe urusannya.

Banyak tentara lebih suka naik Unimog karena baknya tinggi, hampir 1,5 meter ketimbang Mercedes yang baknya hanya setinggi pinggang orang dewasa. Nah soal tinggi bak, Reo lebih gila lagi. Ini mobil dilihat dari jarak 10 meter seperti banteng saja. Bannya 10 biji. Delapan roda belakang dan dua di depan. Untuk pergerakan pasukan dalam jumlah besar, dia dan Mercedes bisa diandalkan. Beda dengan Mercedes, setir Reo di kanan. Produksi Korea.

Supaya tak berkarat, lempengan baja tambahan itu dicat. Umumnya hijau. Ada yang warna daun nangka tua ada juga hijau tahi sapi. Yang Reo biasanya dicat hitam. Kalau ada serdadu yang pintar menggambar, truk-truk itu biasanya dilukis dan diberi nama. Pasukan Rajawali, misalnya, menggambar burung Rajawali besar-besar. Orang Kopassus mencat kabin supirnya dengan warna bendara republik ini; merah putih. Ada juga yang menggambar kaligrafi berisi penggalan ayat-ayat al-Quran.

Kalau akan ada pergeseran pasukan (serpas), tentara biasanya pilih-pilih mobil. Biasanya mereka akan melirik mobil yang paling tebal bajanya. Kalau mobil yang tersedia ketebalan bajanya sama, mereka akan mencari yang baknya dicor. Ini memang favorit: truk yang sudah dibaja lalu dicor lagi. Biasanya, baja paling luar ukurannya 4 mm dan selang sejengkal ke dalam ada plat baja lagi yang ketebalannya sama. Ruang di antaranya itu yang dicor. Tebal bak bisa membengkak hingga 10 cm. Saya kira dihajar GLM pun untung kalau baknya bisa lobang.

GAM juga kalau mau menghadang pilih-pilih. Favorit mereka serdadu yang menggunakan truk Mitsubishi Dino. Ini mobil orang Korem yang kadang dipinjamkan ke pasukan. Tak dibaja. Ada mungkin lima kali saya naik mobil ini. Semua serdadu dari semua jenis pasukan di Aceh akan mikir 100 kali kalau disuruh komandannya naik mobil ini. “Siapa mau setor nyawa di mobil krupuk,” kata seorang prajurit Kostrad dari Batalion 433, Makassar. Tapi kalau sudah perintah, mobil kerupuk itu tetap digunakan. Biasanya, tentara berebut tempat di pojok. “Biar kalau ada apa-apa langsung loncat.”

GAM kadang pintar kalau menghadang truk yang sudah dibaja. Biasanya, mereka akan mengarahkan tembakan ke pintu mobil. Jadi serdadu terkurung di bak. Kalau ada tembakan, biar bak mobil sudah dibaja dan dicor 10 cm, tetap saja seisi bak tanam kepala. Tiarap, mendekat ke sisi bak asal tembakan.

Tapi GAM akan mikir 100 kali jika akan menghadang truk Mercedes atau Reo atau Unimog yang sudah dipasangi Senapan Mesin Berat. Di Aceh Barat, saya lihat baru Kostrad 305 (saya kira ini juga pasukan tambahan yang datang ke Aceh tanpa sepengetahuan banyak orang di Jakarta) yang melengkapi beberapa truknya dengan SMB.

Kalau Anda menonton film perang, Anda mungkin pernah melihat sejenis senjata yang dipakai menembaki pesawat terbang. Nah, itu SMB. Dia dipasang di bak dan dilengkapi engsel sehingga bisa diputar-putar kemana mau.

Panjang larasnya lebih semeter dengan diameter sebesar botol kecap. Saya belum pernah mendengar bunyinya. Tapi saya kira akan memekakkan telinga. Panjang amunisinya saja sudah satu jengkal orang dewasa. Selongsongnya sebesar jempol kaki sementara proyektilnya seukuran kelingking dengan ujung lebih runcing. Kalau ada GAM lenggang kangkung enam kilometer di depan sana, peluru itu bisa membuat lobang seukuran bola tenis di dadanya.

GAM juga kemungkinan besar mengurungkan niatnya menghadang konvoi yang di situ ada mobil jenis Rantis (Kendaraan Perintis). Potongannya mirip-mirip Hornet. Komandan biasanya naik mobil ini. Setahu saya, hanya orang Kopassus yang punya.

Di atap Rantis ada barang mematikan: AGL (Automatic Grenade Launcher). Barangnya kecil saja, panjangnya paling semeter. Tapi yang keluar dari larasnya adalah granat yang sama yang dipakai di SPG. Keluarnya bukan satu-satu, tapi otomatis.

Kalau AGL sudah menyalak, banyak serdadu yang santai-santai. Yang mau dan punya rokok bakar rokok. Yang bawa ganja melinting “rempah Aceh” itu. Mengisap rokok dalam-dalam sambil menembak, menurut beberapa serdadu, nikmatnya sukar dilukiskan.

Sebenarnya, tak banyak truk yang dibawa pasukan kita ke Aceh. Di Aceh Barat misalnya, di luar mobil ‘krupuk’ Korem, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Ambil contoh Batalion 521 hanya mengandalkan empat biji truk Mercedes untuk membantu mobilisasi pasukan. Yang pasukan gerak, seperti Kostrad dan Kopassus, setiap kompinya hanya punya satu kendaraan.

Reo, Unimog, dan Mercedes kalau makan solar nauzubillah. Satu liter hanya tahan 5 kilometer. Untuk Mercedes isi tangkinya bisa sampai 130 liter. Sementara Jakarta setiap bulannya hanya sanggup menyediakan 200 liter solar untuk setiap truk. Jika tangki diisi penuh dan dipakai sekali Dorlok (Pendorongan Logistik), konvoi memang bisa sampai Lambaro tapi tidak bisa kembali ke Meulaboh lagi.

Kita sepertinya harus berterima kasih ke perusahaan swasta di Aceh Barat yang menggratiskan cadangan solarnya untuk truk tentara kita. PT Socfin Indonesia misalnya. Perusahaan kelapa sawit itu setiap bulannya menyediakan tiga sampai enam ton solar untuk tentara dan polisi kita di sana. Dan bahkan menyediakan puluhan lembar lempengan baja dan membayari ongkos lasnya untuk truk serdadu Indonesia.



VII

SATU-dua kali masuk kolam, tak ada ikan yang berhasil dijaring. Tak ada kontak tembak dengan GAM. Beberapa serdadu mulai percaya kalau setiap wartawan ikut pasti tak ada hasil.

Saya tak ambil pusing. Saya selalu mengikuti kemana saja truk pergi. Seorang serdadu Kopassus geleng-geleng kepala melihat saya seperti gila naik truk.

“Siapa tahu ada tembakan,” kata saya menjawab keheranannya.

“Tuh kan, doanya saja sudah jelek,” Dalam hati saya malu. Bagaimana kalau benar terjadi penghadangan dan ada serdadu yang kena?

Roda truk tentara yang mendukung operasi pasukan di Aceh Barat tiap hari berputar. Kadang, dalam sehari, truk singgah di empat sampai lima pos yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan. Truk selalu dalam pengawalan, minimal lima sampai enam serdadu berjaga di bak.

Bepergian dengan truk tentara membutuhkan fisik yang prima dan semangat besar. Kalau badan loyo, rawan masuk angin. Kalau terlalu sering berdiri di truk, orang bisa turun bero. Paling tidak, mata Anda akan memerah dan rambut akan kusam disiram debu dan angin jalan.

Anda akan sering melihat lambaian tangan penduduk di sepanjang jalan. Paling tidak mereka akan melempar senyum. Anak-anak sekolah yang lagi bermain di halaman akan menghentikan permainannya dan berdesak-desakan di pagar sekolahnya hanya untuk melambaikan tangan ke orang-orang yang, sebenarnya, tak mereka kenal. Ibu-ibu yang menggendong anak kadang setengah berlari ke luar rumahnya agar tak kehilangan kesempatan.

Orang-orang yang di atas truk menikmati pemandangan itu. Mereka selalu membalas dengan tangan kanan. Orang Aceh akan tersinggung berat jika diberi lambaian tangan kiri. Pamali. Tapi biasanya tentara kita yang hiperaktif melambai-lambaikan tangan kalau ada anak dara yang tersenyum di teras rumahnya.

Tapi ada juga yang acuh melihat anak-anak sekolah. Malah ada yang sinis. “Anak-anak Aceh,” kata seorang serdadu, “Hari ini melambaikan tangan tapi kalau besar membidikkan laras ke kita.”

Dan kalau truk sudah jalan, rasanya tak ada lagi kendaraan di jalan. Setiap kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan akan menepi di bahu jalan. Tidak peduli apa jenisnya: truk Fuso, L-300, kereta (islah orang Aceh untuk sepeda motor), motor (kendaraan roda empat), becak motor, dan lain-lain. Semua menepi. Mempersilahkan truk bergerak dulu.

Truk tentara kita biasanya melaju kecang. Di tikungan, kendaraan yang bergerak dari arah berlawanan, kadang panik dan buru-buru menepi hingga hampir nyungsep.

Seringkali saya geli melihat adegan-adegan itu. “Jangan ditulis mereka takut sama kita,” kata seorang supir berpangkat prajurit kepala memperingatkan, “Mereka itu melihat kepentingan kita lebih besar sehingga pantas didahulukan.”

Di atas truk, ada banyak hal yang harus diwaspadai. Yang ringan-ringan: percikan air atau debu jalan. Kalau aspal basah habis diguyur hujan misalnya, putaran roda truk akan mengangkat air ke atas bak. Mereka yang berdiri hingga 1,5 meter dari pintu truk akan kena percikannya. Kalau sekadar air masih untung. Tapi kalau kebetulan ban menggilas tahi sapi ….

Kedua, tentu saja peluru. Perhatian tentara lebih tertuju ke barang satu ini. Ada kepercayaan di kalangan serdadu Indonesia kalau peluru di Aceh punya Nomer Registrasi Pokok. Ini jelas merepotkan. Setiap tentara punya NRP tersendiri, terdiri dari sederet angka yang dari situ orang, antara lain bisa mengetahui kapan seorang serdadu mulai ikut dinas militer serta tanggal bulan dan tahun kelahirannya.

Jika sudah di atas truk lalu ada informasi kalau truk akan dihadang, bukan main tegangnya. Nyaris tak ada pembicaraan sepanjang perjalanan. Kadang ada yang mencoba mengendorkan ketegangan orang bak dengan bersenandung sambil iseng melambai-lambaikan tangan ke bukit-bukit rawan tak berpenghuni di sepanjang jalan … “Daaaaa, dadah sayaaaaaang. Slaaaaa, slamattt jaaaaalan.”

Sebenarnya, tentara kita punya bekal yang cukup untuk tak terlampau mengkhawatirkan peluru yang punya NRP itu. Toh mereka sudah dibekali rompi dan mobil lapis baja.

Ada yang mencari tameng tambahan yang diyakini lebih sakti: jimat, dari yang berbentuk barang sampai yang berupa doa tertentu yang harus dirapal secara rutin. Yang percaya memakainya atau paling tidak menuliskan doa-doa itu di rompi baja yang digunakannya, diselipkan di dalam dompet, atau hanya dirapalkan setiap kali akan bergerak.

Ada juga yang sepertinya tak ambil pusing. Seorang serdadu Kopassus malah menuliskan kalimat ini di rompi bajanya: Now I’m Nothing. Dia sebenarnya masih muda. Kalau tak salah ingat kelahiran tahun 1979. Saya kira dia termasuk di antara serdadu yang masa mudanya “habis dimakan ransel.”

Tapi rasa-rasanya daerah Geurutee punya tuah tersendiri sehingga setiap serdadu, tak peduli dia dari kesatuan mana, ketar-ketir saat melintas di pegunungan yang memisahkan Aceh Besar dan Aceh Barat itu.

Geurutee terkenal dengan jalannya yang berliku. Delapan kilometer panjangnya. Persisnya dari kilometer 64 hingga kilometer 72 dari Banda Aceh arah Meulaboh.

Dari Banda Aceh, kendaraan akan menanjak sejak kilometer 64. Meliuk-liuk, bermanuver di lereng gunung hingga tiba di Peuyoh (Puncak) Geurutee di kilometer 68. Setelahnya, kendaraan akan bergerak menurun hingga Gle Miga di ujung kilometer 72.

Jika sempat berhenti di Puncak Geurutee itu, saya yakin Anda akan merasakan sensasi tersendiri. Dari situ, Anda dapat melihat gradasi air laut di bawah sana. Dari yang warnanya biru muda hingga biru pekat. Anda bahkan dapat menghitung berapa saf ombak yang menggulung di laut sana.

Dari puncak yang sama, Anda juga bisa membayangkan seperti apa jadinya jika, semoga tidak, kendaraan Anda terperosok ke jurang di kanan Geurutee.

Serdadu yang pernah tugas di situ tak dapat memastikan berapa dalamnya jurang di kanan Geurutee. Mereka pernah mencoba menaksir kedalamannya dengan lomba-lombaan melempar baterai PRC yang sudah usang dan menggelundungkan batu besar. Tapi tak seorang pun yang berhasil melihat batu itu sampai ke permukaan laut.

Bukit-bukit di kiri Geurutee juga menyimpan pesona tersendiri. Orang harus mendongak untuk melihat jelas pepohonan apa yang ada di situ karena terjalnya bukit. Tinggi lereng bukit yang tertutupi pepohonan hijau itu mungkin sama dengan kedalaman jurang di bawah sana: 100 meter.

Dari semua pesonanya itu, Geurutee tetap menjadi mimpi buruk bagi setiap tentara yang pernah melintasinya. Nyaris setiap pasukan yang pernah melintas di situ pernah dihadang GAM. Bahkan seorang komandan Korem Teuku Umar nyaris mengembuskan napas terakhirnya di Geurutee sekiranya proyektil AK-47 yang ditembakkan GAM dari bukit-bukit di kiri jalan menembus kaca Hornet yang ditumpanginya.

Dihadang di Geurutee memang menjengkelkan. Anda tak bisa membalas tembakan karena GAM bersembunyi di tebing-tebing curam. Mereka dapat melihat Anda dengan jelas. Mereka bebas membidik atau melempar granat ke kendaraan yang melintas. Atau tak usah granat, menggelindingkan batu dari atas sana pun Anda yang duduk di bak truk tentara bisa dipastikan akan celaka.

Sementara itu, Anda akan sukar mencari tempat perlindungan jika sudah dihadang. Mau lari ke kanan jurang. Mau lari ke kiri terbentur tebing terjal. Jalan satu-satunya adalah merapatkan badan ke tebing. Tapi kadang kalau sudah disiram tembakan dari atas, biasanya ada yang pantatnya keserempet peluru.

Singkatnya, serdadu praktis hanya bisa berlindung dan berharap semoga GAM segera kehabisan amunisi. Kalau baru dua jam GAM kehabisan amunisi, baru sudah itu si serdadu bisa meninggalkan Geurutee.

Menembak saat penghadangan di situ hampir-hampir mustahil. Laras Anda hanya bisa tegak lurus, menembak langit. Kalau hanya kaliber 5,56 yang tertembak ke langit tak terlalu masalah. Tapi kalau TP yang terlempar jadinya persoalan besar. Kepala bisa hancur sendiri karena bisa dipastikan TP itu akan kembali ke tempat Anda berdiri.

“Tidak tahu gunung apa itu,” kata seorang serdadu dari Makassar, “Selalunya kita takut kalau lewat.” Ada juga serdadu yang sudah patah arang dengan Geurutee. Dia berharap suatu waktu nanti GAM yang melakukan konvoi dan TNI yang menghadang.

Tapi belakangan ini pasukan yang melintas di situ tak terlampau khawatir lagi. Sudah ada satu peleton serdadu yang saban harinya mengamankan Geurutee dari kemungkinan disusupi GAM.

Kasihan mereka. Tak ada warga desa yang bisa diajak bergaul. Yang ada hanya deru ombak di bawah sana dan gunung batu dan jurang yang terjal. Hiburan satu-satunya adalah melihat kendaraan yang melintas.

“Bukan GAM yang bikin kami kesulitan di sini. Tapi agas,” keluh seorang serdadu. Agas sejenis nyamuk tapi badannya jauh lebih lebih ramping. Gigitannya? Alamak … gatal luar biasa.

Dia selalunya datang malam hari dan menyasar kepala dan muka. Makluk satu itu bisa menembus shebo kendati kepala sudah dibungkus kelambu dan ditutup dengan sarung berlapis. Autan tak mampan. Sakti, cairan anti serangga pembagian TNI, juga impoten. Agas hanya bisa diusir dengan asap rokok.

Geurutee hanya satu di antara ratusan perbukitan di Aceh Barat yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan serdadu yang kebetulan berkendaraan. Dan tentara kita tak kehabisan akal. Mereka mengguduli bukit-bukit yang sering terjadi penghadangan. Biar pandangan luas dan GAM segera terlihat jika akan menghadang.

Saat saya bergabung dengan pasukan di Aceh Barat, penghadangan sudah jarang terjadi. Rajawali juga kian kesulitan menemukan ikan di kolam. Dengar-dengar, GAM merapat ke desa. Menjadi orang desa. Sukar bagi serdadu Indonesia untuk membedakan siapa GAM siapa penduduk biasa kecuali ada informasi intelejen yang memadai.

Di Patek dulu, seorang serdadu gondok luar biasa setelah meminjamkan koreknya ke seorang warga yang mau membakar rokok. Orang itu ternyata Abu Tausi, salah seorang dedongkot GAM di sana.

Intelejen termasuk di antara kelemahan mendasar pasukan Jakarta di Aceh.

Sebenarnya, sudah ada Satuan Gabungan Intelejen (SGI) bertanggungjawab untuk urusan itu. Saya sering menguping pembicaraan serdadu di radio dan mendengar “Solo Garut Irian” disebut, ya itulah SGI. Gabungan Sandi Yudha Kopassus dan intel Kostrad.

SGI masuk Aceh tahun 1999. Mereka lebih dulu ditanam sebelum Jakarta mulai mengirim kembali pasukan pasca penarikan DOM.

Soal menyamar, SGI memang jagonya. Mereka dibebaskan untuk, meminjam istilah anak muda sekarang, “berekspresi”. Ada yang memilih berambut gondrong, ada yang bertampang ustadz atau kiai, ada yang menjadi petani, nelayan, penjual kacang, dan sebagainya.

Di sebuah acara syukuran pasukan Brigade Mobil—menyusul tewasnya Abu Arafah, salah seorang komandan GAM di Aceh Barat—saya bertemu dengan seorang bapak yang dari dandanannya saya kira camat setempat. Roman mukanya bersih. Sedikit jenggot dan kumis di wajahnya mempekuat kesan kalau dia memperhatikan urusan agama. Dia mengenakan peci hitam dengan setelan safari. Senyumnya tak pernah lepas.

Penasaran, saya bertanya ke seorang sersan satu siapa nama camat yang diajaknya berbicara. Serdadu itu tertawa terbahak-bahak. “Bang, dia mengira Abang camat di sini.” Bapak itu hanya tersenyum. Dia ternyata komandannya SGI wilayah Calang.

Tapi penyamaran orang-orang SGI sepertinya kurang membuahkan hasil. Jarang-jarang ada pergerakan pasukan tempur dan teritorial yang didasari pada informasi orang SGI. Ada serdadu Indonesia yang bilang, orang SGI bisa apa saja di Aceh ini. Kecuali satu: bahasa Aceh.



SERINGNYA berkendaraan mengunjungi satu pos ke pos lain, mengantar saya menemukan sebuah dunia baru di Aceh: dunia orang-orang Jawa perantauan. Ada di antara mereka yang leluhurnya datang ke sini sebagai buruh kontrak di perkebunan karet dan sawit tahun 1920-an. Ada juga yang masuk ke Aceh tahun 1980-an sebagai transmigran.

Seingat saya, ada sepuluh atau mungkin lebih sarana pemukiman transmigran di Aceh Barat. Salah satu yang pernah saya kunjungi adalah SP 1 di Alue Peunyareng, Bukit Jaya. “Di sini dulu seperti Meulaboh saja. Ramai. Lampu di mana-mana,” kata seorang transmigran.

Tapi SP 1 kini sudah kehilangan kekotaannya. Saat datang ke sana September silam, sudah tak ada transmigran Jawa yang menetap di situ. Mereka mengungsi, sebagian ke Banda Aceh dan sebagian lagi ke Medan saat gelombang pengusiran orang Jawa terjadi di Aceh Barat, 1999 silam. (Seorang ibu kelahiran Seunagan tapi berdarah Jawa masih ingat apa yang diteriakkan massa yang menuntut Referendum 1999 dulu, “Jawa koh takue. Jawa koh takue; potong leher orang Jawa)

SP 1 sudah menjadi hutan. Jalan-jalan aspal hingga ke pemukiman transmigran itu nyaris ditelan semak belukar di kiri-kanannya. Tak ada lagi orang yang berani menginjakkan kaki di kota mati itu.

Saya sempat singgah ke sebuah rumah tak berpenghuni di situ. Halamannya disesaki belukar. Balok-balok kusen rumah menghitam, hangus dimakan api. Atapnya roboh. Hanya dindingnya yang tetap tegak. Dan luar biasa …. Saya yakin si empunya rumah itu dulunya punya kekayaan yang cukup untuk membangun sebuah rumah dengan semua dindingnya dicor! Dia tampak sudah meniatkan untuk menjadi orang Aceh. Membesarkan anak, berusaha, dan mungkin meninggal di situ.

Saat masuk ke ruang tamu, tak sengaja saya menyeret kaki. Begitu tanah yang menutup lantai tersibak, saya tahu kalau seluruh lantai rumah itu dilapisi keramik. Ukuran rumahnya 15x8 meter, belum termasuk garasi 3 x 4 meter persegi di kiri bangunan. Daun pintu dan jendala sudah tanggal. Beberapa kaca nako hitam masih menggantung di tatakannya.

Ada lima kamar di rumah itu. Di setiap kamar, saya melihat masih ada ranjang kayu yang tak berpelitur. Dari bekas langit-langit rumah yang tingginya ada dua meter, saya membayangkan akan menyejukkan tinggal di situ.

Di halaman ada banyak buah-buahan; mangga, rambutan, jambu batu dan masih banyak lagi.

Hampir setiap rumah yang saya masuki begitu modelnya. Di belakang rumah, masing-masing transmigran punya kebon sawit. Totalnya, 330 kepala keluarga yang tinggal di situ punya 300 hektar kebon sawit. Sejak ditinggal, banyak sawit yang busuk di tandannya karena tak ada yang berani datang memanen.

Tentara dan pemerintah setempat ingin memanfaatkan kebon sawit yang tak terawat itu. Mereka membangun satu pos baru di sana. Puluhan orang – sebagian besarnya orang asli Aceh – yang tak memiliki pekerjaan direkrut untuk memanen sawit-sawit itu. Saya tak begitu jelas apa dasar perekrutannya. Tapi saya tahu, masih ada transmigran yang punya tanah di situ tapi tak dipanggil memanen isi kebunnya sendiri. Seorang mayor berdalih, panen sawit itu untuk memberi kerjaan ke mereka yang menganggur. “Dari pada dipanen GAM,” katanya.

Hasil panen dijual ke PT Socfin Indonesia. Socfin dan belasan perkebunan sawit dan karet lainnya dekat dengan tentara di Aceh Barat. Tentara mem-backing keamanan di wilayah perkebunan dan gantinya, mereka membantu menutupi kekurangan kebutuhan tentara, utamanya solar.

Saya pernah tanya Kapten Dedi Hardono kenapa Jakarta hanya memberi jatah solar 200 liter per bulan untuk setiap truk. Apa mereka tak tahu keadaan di sini? Katanya, “Mau dibilang tidak tahu, tidak juga. Mau dibilang tahu, nyatanya begini.”

Saat di Aceh Barat, banyak serdadu yang mendengar kabar temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kalau di Departemen Pertahanan ada indikasi korupsi dana operasi keamanan Aceh hingga Rp 80 miliar. Mendengar itu, seorang prajurit Kostrad dari Makassar kesal luar biasa, “Lebih baik GAM kita pelihara daripada orang seperti itu. Ini namanya tentara makan tentara.”

Negara menggaji tentara di Aceh Rp 17.300 per hari. Hanya Rp 10.000 yang masuk ke kantor serdadu (Bandingkan dengan uang saku Rp 1.000 per hari yang diterima pasukan Rajawali yang masuk Pidie 1999 silam). Sisanya ditabungkan komandan agar saat pulang tugas, setiap serdadu punya simpanan.

Serdadu-serdadu itu perlu bermanuver untuk mencukupi semua keperluannya. Untuk tiga kali makan sehari, mereka keluar Rp 3.000. Sisanya dipakai membeli barang-barang kebutuhan harian seperti sabun cuci, shampo, dan rokok—kalau memang merokok.

“Tentara kantongnya saja yang banyak. Isinya jangan ditanya,” kata seorang prajurit kepala. Saya menghitung, di PDL (Pakaian Dinas Lapangan) tentara ada delapan kantong seukuran buku saku. Tak usah melirik isi kantong, dari PDL saja Anda sudah bisa membaca bagaimana kondisi keuangan mereka. Saya banyak melihat tentara yang memakai PDL penuh tambalan. Di bagian lutut, siku, paha ….

Saya berpisah dengan pasukan di Aceh Barat akhir Oktober silam, bersamaan dengan habisnya izin peliputan yang dikeluarkan Mayor Jendral Djali Yusuf.

Suasananya penuh haru. Beberapa prajurit Kopassus tak dapat menahan iri mengetahui sebentar lagi saya menginjak Jakarta. Ada juga yang mengajak saya bertemu di sebuah diskotik di bilangan Kota, Jakarta. “Nanti kalau ke sana gratis. Kalau mau nginap di hotel, telpon saya saja nanti. Percaya deh gratis.”

Sebagian besar ingin melihat hasil reportase saya. “Sayang yah, abang tidak bawa foto. Kalau bawa dan tulisannya dimuat ‘kan orang di batalion bisa lihat.” Ada juga yang masih tak paham kalau izin liputan saya hanya dua bulan. “Gue kira lu tinggal setahun di sini. Bareng aja pulangnya.”

Ada juga yang sambil bergurau menyarankan saya untuk menulis yang “baik-baik saja” kalau tak mau “disekolahkan”. Beberapa lainnya meminta saya tak usah menulis soal rokok Japrem (jatah preman) serta soal burung dan VCD di pos. Dengar-dengar, ada instruksi dari komandan militer setempat yang melarang serdadu memelihara burung dan punya VCD di pos. (Di rumah komandan resort militer setempat, saya malah melihat sangkar burung seukuran kamar kos mahasiswa, kuda, dan juga orang utan)

Yang paling berkesan, perpisahan dengan orang pos di Kaway VXI. Seisi pos berkumpul, menggelar perpisahan ala kadarnya. Ada yang memegang gitar, ada yang memeluk baskom, menenteng piring serta sendok.

Seorang serdadu memberi aba-aba pesiapan: "Cek-cek-cek … sound-sound-sound … Gendang-gendang ... Kurang keras, kurang keras. Gendangnya tes ... tuk-tuk-tuk ... Volume-volume-volume ...bas-bas-bas ... Udah-dah-dah.”

Malam itu mereka melantunkan Malam Terakhir, lagu perpisahan yang sekaligus ditujukan untuk orang-orang yang akan menunggu kepulangan mereka di dermaga Ujung, Surabaya, nanti: “Malam iniiii, malam terakhir bagi kitaaaaaa untuk melepas rasa rindu di dhadaaaaa, esok akuuu akan pergi lama tak kembaliii, kuharap engkau selalu sabar menantiiii….”

*Diterbitkan dalam Majalah Pantau Edisi Februari 2003

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda